Thallasophile

Refleksi Tulisan Pertama di Kelas Menulis Kepo Angkatan IV

Saya memulai hari ini seperti biasa, bangun terlambat. Begitulah yang saya alami beberapa hari belakangan ini. Maklum saja, saya baru bisa tidur pukul 03.00 WITA dini hari ditambah sedang tidak melaksanakan salat makanya terlambat bangun. Tak ada yang istimewa, aktivitas tetap sama seperti hari-hari sebelumnya, yaitu bangun pagi, mandi, sarapan, dan lain-lain. Namun, perasaan agak berbeda hari ini. Saya selalu deg-degan sepanjang hari. Penyebabnya tak lain adalah gara-gara Kelas Menulis Kepo. Lho, apa hubungannya? Tentu saja ada hubungannya. Hari ini, 17 Februari 2017 adalah pertemuan ketiga Kelas Menulis Kepo Angkatan IV yang akan membahas tulisan yang dijadikan tugas pertama dan telah dipublikasikan di blog peserta masing-masing. Dalam kepala saya, sudah timbul bayangan komentar-komentar yang akan saya terima.

Pertemuan ketiga tersebut akan dilaksanakan pukul 17.00 WITA di Kafe Brew Brothers Coffe Shop kawasan Ruko Akik Hijau, Panakkukang, Makassar, tempat yang sama di pertemuan pertama dan kedua. Pukul 16.05 WITA, saya sudah berangkat menuju lokasi pertemuan dan tiba di kafe pukul 16.58 WITA. Saya mengira sudah ada peserta lain yang hadir, tetapi ternyata belum ada seorang pun. Saya kembali menjadi orang pertama yang datang. Di pertemuan sebelumnya pun begitu. Beberapa menit kemudian, datanglah Kak Hasymi dan Hamid ̶ yang merupakan peserta dari kelas menulis ini ̶ disusul Kak Fadli ̶ peserta kelas menulis yang disepakati menjadi ketua kelas ̶ . Kak Fadli mengeluarkan map batik berwarna coklat yang berisi daftar hadir peserta Kelas Menulis Kepo Angkatan IV. Sambil membuka map tersebut, dia pun berkata dengan santainya, “Irma, pegangmi daftar hadir nah, jadi sekretarismi.” Kak Hasymi dan Hamid pun tak menolak. Bahkan, Hamid pun menambahkan bahwa saya pernah menjadi sekretaris. Pernyataan tersebut membuat tak ada lagi alasan untuk menolak. Ini adalah penunjukkan mutlak, sesuatu yang tidak bisa ditolak. Kasusnya sama dengan penunjukkan Kak Fadli sebagai ketua kelas di pertemuan pertama. Tidak ada pertanyaan tentang kesediaan si calon.

Sebelum kelas dimulai, Oppa Lebug ̶ salah satu fasilitator kelas Kepo ̶ memberikan hadiah notebook kepada saya dan Citra  ̶ merupakan peserta dari kelas menulis ini juga ̶  yang tulisan tentang deskripsi Oppa Lebug terpilih. Tentu saja, senang mendapatkan hadiah tersebut. Kelas pun dibuka oleh Kak Nunu  ̶  salah satu pendamping kelompok di kelas menulis ini ̶ dan diawali dengan pertanyaan mengenai kesulitan dalam menyelesaikan tugas pertama. Setiap orang diberikan kesempatan untuk menjawab. Setelah itu, refleksi tulisan pun dimulai.

Tulisan yang akan dievaluasi seharusnya berjumlah lima belas, tetapi salah satu peserta tidak bisa hadir. Akhirnya, pertemuan kali ini hanya akan mengevaluasi empat belas tulisan. Sebagian peserta terlihat biasa saja dan sebagian lain terlihat deg-degan menantikan giliran tulisannya akan dievaluasi, tak terkecuali saya. Akhirnya, terpilihlah tulisan pertama yang akan dievaluasi kali ini, yaitu tulisan kak Baizul. Tulisan itu pun dibuka di https://baizulzaman.wordpress.com/2017/02/15/kamera-pertamaku-yang-dicuri-orang/. Setiap orang yang ingin menyampaikan komentar tentang tulisan tersebut dipersilakan. Saya pun tak ketinggalan memberikan komentar tentang penggunaan ejaan dan kata baku. Mulai dari penulisan kata hubung, kata depan, kata serapan, huruf miring, dan sebagainya.  Entah mengapa ketika melihat kalimat atau kata yang salah, dorongan dalam hati sangat kuat untuk menyampaikan kesalahan tersebut.

Hampir di setiap tulisan selalu ada komentar yang saya lontarkan. Oleh karena itu, tulisan saya menjadi tulisan paling buntut untuk dievaluasi. Perasaan deg-degan pun menghampiri karena khawatir akan banyak kesalahan (terutama ejaan) dalam tulisan. Sampai akhirnya, tulisan terakhir pun dikomentari. Tulisan dibuka di www.cecein.wordpress.com/2017/02/15/buku-puisi-dan-perihal-jatuh-cinta/. Oppa Lebug menemukan kesalahan dalam tulisan tersebut. Penulisan kata dan yang salah. Kata tersebut berada di awal kalimat. Padahal, dikomentar yang saya lontarkan tadi, kata tersebut tidak boleh berada di awal kalimat. Kata dan merupakan konjungsi intrakalimat yang menghubungkan antara klausa yang satu dan klausa yang lain. Tentu saja posisinya ada di tengah kalimat, bukan di awal kalimat.

Penggunaan kata saya juga terlalu banyak dan dianggap boros. Selain itu, penggunaan hehehe sebaiknya dikurangi. Biarkan pembaca tertawa sendiri membaca tulisan tersebut karena akan aneh apabila menulis hehehe dalam tulisan dan ternyata orang yang membacanya tidak tertawa. Itu saran yang diberikan oleh kak Iyan ̶ salah satu fasilitator juga di kelas menulis ini ̶. Bagian lain yang dikomentari kak Iyan adalah pernyataan “… bentuk buku yang tidak terlalu besar.” Pernyataan tersebut kurang jelas karena tidak disebutkan pembandingnya buku yang seperti apa yang menjadi alasan mengatakan buku tersebut tidak terlalu besar. Kita bisa mengetahui sesuatu itu besar atau kecil jika ada pembandingnya. Saran yang diberikan oleh Daeng Ipul ̶ merupakan salah satu fasilitator juga di kelas menulis ini ̶ mengenai hal tersebut adalah dituliskan saja berapa ukuran kertas yang dipakai buku itu. Dengan adanya ukuran kertas, pernyataan akan akan memuat fakta dan pembaca diberikan kebebasan untuk menilai apakah buku itu besar atau kecil.

Klausa Kak Aan pun tak luput dari komentar. Daeng Ipul mengatakan jika ingin menggunakan klausa tersebut seharusnya dijelaskan dulu di paragraf sebelumnya. Terlihat aneh jika di paragraf sebelumnya  saya menyebut nama lengkap penulis (M. Aan Mansyur) kemudian di paragraf selanjutnya tiba-tiba tertulis hanya Kak Aan.

Sedikit tahu tentang aturan penulisan bahasa baku bukan berarti tulisan yang kita buat luput dari kesalahan. Saya pun masih belajar. Semoga dengan komentar-komentar yang diberikan membuat tulisan-tulisan ke depannya lebih baik.