Layar notebook berukuran 9 inchi masih menampilkan adegan di 01.10. 17. Tersisa dua menit lagi sebelum drama korea yang saya tonton itu berakhir. Layar itu menampilkan perempuan berambut hitam sebahu menghampiri pria berambut belah tengah, berhidung mancung, dan berkulit putih tanpa bercak. Mereka bertatapan. Ada bulir bening di kedua mata mereka yang tak kunjung jatuh. Adegan ini adalah pertemuan sepasang kekasih yang telah lama berpisah dan akhirnya kembali bertemu. Suasana haru mengakhiri drama tersebut. Ada rasa bahagia yang terasa. Penantian sepi yang menusuk kini dibayar lunas oleh pertemuan.
Menengok jam yang ada di handphone ternyata sudah menunjukkan pukul 13.40 WITA, berarti saya harus bersiap-siap untuk pergi mengajar. Saya mulai dengan menyikat gigi. Kaki melangkah ke kamar mandi, saya melihat televisi tetangga sedang menyala. Seorang perempuan dalam televisi itu berdiri memegang mic seperti sedang melaporkan sesuatu. Saya tak acuh dan terus melanjutkan langkah ke kamar mandi.
“Sangat banyak sekali.” Frasa itu berasal dari televisi tetangga tadi. Mendengar frasa tersebut, kening saya langsung berkerut dan bibir menyeringai. Tangan mengambil keranjang tempat alat mandi dengan kasar. Melangkah masuk ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, helm sikat gigi saya lepaskan dengan kasar pula. Sikat gigi saya pegang di tangan kanan lalu membuka tutup odol dan memencetnya. Meletakkan gumpalan putih di ujung sikat gigi, memasukkannya dalam mulut dengan gerakan naik turun dan keluar masuk dengan ritme cepat . Dalam hati, saya menggerutu. Bisa-bisanya dia mengucapkan frasa itu. Ingin sekali rasanya menghampiri dan mengatakan, “Eh frasa ‘sangat banyak sekali’ itu pemborosan. Kata ‘sangat dan sekali’ itu maknanya sama. Jadi pilih salah satu dari kata itu untuk menunjukkan sesuatu yang jamak. pake frasa ‘sangat banyak’ atau ‘banyak sekali’ saja gitu lho mbak.”
Akhir bahagia yang saya rasakan dari drama itu tidak bertahan lama. Ya, gara-gara mbak reporter tadi yang salah mengucapkan frasa. Memang, bahagia itu tak selamanya.
***
Di lain tempat, waktu itu saya mengajar di Ganesha Operation (GO) ̶ salah satu tempat bimbingan belajar di Makassar ̶ cabang BTP di kelas tiga SMA. Di dalam ruangan, deretan kursi yang kira-kira berjumlah tiga puluh sudah diisi oleh beberapa orang secara acak. Deretan itu disusun menjadi tiga baris dan menghadap ke papan tulis. Barisan pertama dan kedua sengaja dikosongkan bagian tengahnya supaya difungsikan sebagai jalan. Ada dua AC yang ada di ruangan itu menghadap ke depan. Cukup membuat menggigil apabila kursi-kursi belum terisi semua. Di bagian kiri atas ada jam dinding, tetapi jam itu menunjukkan pukul 15.35 WITA tanda jam itu tak berfungsi sebagaimana mestinya. Di arah kanan sudah tersedia sebuah kursi, tetapi arahnya berbeda dari kursi yang lain. Map, tempat pensil, buku EYD, dan buku koding ̶ semacam buku cetak seperti yang biasa dipakai di sekolah ̶ yang sedari tadi ada dalam pelukan, saya letakkan di kursi itu.
“Selamat sore,” sapa saya pada siswa-siswa
“Sore kak,” jawab mereka. Terlihat seragam masih melekat di tubuh mereka, satu orang menutupi seragam dengan mengenakan sweater. Yang lain tampak memakai baju kaos dengan paduan celana jeans sempit di bagian kaki. Saya pun menulis di papan tulis berbentuk persegi panjang yang sudah dibagi menjadi empat bagian. Menuliskan judul paket yang akan dipelajari sore itu.
“Sekarang kita sudah di paket dua ya, judulnya itu Keterampilan Berbahasa dan Karya Ilmiah, buka halaman 369 dek. Di bagian keterampilan berbahasa kita akan pelajari tentang surat undangan resmi, sedangkan di karya ilmiah akan dipelajari penulisan judul, daftar pustaka, dan kutipan.”
“Adek-adek coba perhatikan bagian penutup suratnya, biasa orang gunakan ‘atas kehadirannya’ ya di surat. Itu salah dek ya. Mengapa? Karena surat itu komunikasi antara orang pertama dan orang kedua. Nah, -nya itu sama dengan dia. Dia itu orang keberapa? Orang ketiga toh? Jadi –nya keliru jika digunakan pada surat. Gunakan saja sapaan Bapak, Ibu, atau Saudara,” saya berusaha memberikan pemahaman kepada mereka.
Seseorang siswa menyeletuk, “Iye kak, nda boleh memang ada orang ketiga, apalagi dalam sebuah hubungan.”
Suasana kelas menjadi riuh dengan tawa.
***
“Mana Absen?” Tanya Fira, seorang siswa berkacamata dan berambut pendek sebahu sambil melirik ke kanan, kiri, dan ke belakang bergantian.
“Absen bede, apa artinya absen?” Tanya saya pada mereka.
“Anu kak, tidak hadir,” seorang siswa yang memakai jilbab berwarna gold menjawab. Jilbab yang ia kenakan panjangnya menutupi dada sampai perutnya. Ia berada di samping kiri Fira
“Berarti salah dek Fira kalimatmu, masa kau bertanya ‘mana absen?’ kalau diganti kata absen jadi tidak hadir, berarti kalimatmu jadi ‘mana tidak hadir?’, padahal yang kauminta itu daftar hadir toh. Kalau minta daftar hadir bilang saja daftar presensi yang artinya daftar hadir atau bilang saja pake bahasa Indonesia, daftar hadir.” Jelas saya kepada mereka.
Terdengar suara percakapan Fira dengan teman di sampingnya, “Ih berarti salahki guruta selama ini.”
“Kak, yang mana benar merubah atau mengubah?” Terdengar pertanyaan dari seorang siswa laki-laki yang duduk di sudut kiri ruangan.
“Yang benar itu dek kata ‘mengubah’ dari kata dasar ubah. Kalau kata yang berawalan huruf vokal dan bertemu dengan imbuhan me- maka akan menjadi meng-. Kata ubah kan diawali dengan huruf u yang merupakan salah satu huruf vokal. Jadi, kalau ubah ditambah me- itu akan jadi mengubah. Sama dengan kata mengikut, kata dasarnya ikut lalu ditambahkan imbuhan me- jadinya mengikut. Kalau merubah itu tidak ada dalam kamus dek. Kalau rubah ada, rubah itu hewan. “
***
Frasa dan kata di atas hanya sebagian besar dari kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan dalam berkomunikasi. Padahal, pelajaran bahasa Indonesia sudah diajarkan dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah. Pun semester satu di universitas kita masih belajar bahasa Indonesia. Bahkan, ada yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Lalu pantaskah kesalahan-kesalahan itu masih dilakukan? Mungkin selama ini kita terlalu acuh dengan bahasa kita sendiri.