Thallasophile

Gembira di Tengah Kemayaan Riang

Matahari pagi bersinar dengan terik di pukul 10.00 WITA. Matahari di hari Minggu ini cukup membuat kulit seakan tertusuk ketika menempuh perjalanan dari Jl. Adhyaksa, Panakkukang, Makassar menuju Jl. Perintis Kemerdekaan, Biringkanaya, Makassar. Namun, terik itu segera terganti dengan suasana sejuk dari pepohonan tatkala membelok ke kiri masuk ke sebuah kampus. Kira-kira 15 m dari jalan raya, terlihat gerbang bercat merah dengan tinggi kira-kira sama dengan dada orang dewasa seakan mengucapkan selamat datang. Gerbangya hanya sebagian yang terbuka, cukup untuk tiga motor lewat secara bersamaan. Di sisi kiri dari jalanan masuk, beberapa orang terlihat sedang duduk-duduk, beberapa orang lain berdiri dan yang lainnya terlihat memperhatikan rusa yang terkurung. Di sekitar orang-orang itu terlihat beberapa sepeda berdiri mematung tak dijamah oleh siapa pun.

Jalanan hanya memperlihatkan beberapa kendaraan lalu lalang. Motor pun dibelokkan ke arah kanan memasuki gedung yang bernama Gedung Pertemuan Alumni (GPA). Tak ada papan nama di depan gedung itu. Namun, begitulah gedung itu dinamai. Dari mahasiswa baru sampai sekarang jika menyebut GPA akan mengarah  ke gedung itu. Halaman gedung ini dilapisi dengan batako sekeras batok kepala. Motor pun di parkirkan di sisi kiri jalan masuk. Sudah ada beberapa motor yang terparkir terlebih dulu di sana. Tepat di bawah gedung terlihat tiga orang ̶ laki-laki dan perempuan ̶ sedang duduk di tangga gedung. Beberapa orang lain dalam posisi berdiri menghadap tiga orang tadi. Saya tebak yang duduk itu adalah senior dan yang berdiri adalah junior. Ketika melintas di belakang mereka ̶ menuju ke samping gedung ̶ terlihat tulisan di baju mereka “Fakultas Hukum”.

Di samping gedung itu, sudah ada sekumpulan anak-anak dan orang dewasa. Anak-anak itu duduk di karpet, sedangkan orang dewasa terlihat berdiri di setiap sisi anak-anak tersebut. Di depan anak-anak itu berdiri seorang lelaki memakai kacamata, berbaju batik, dan bercelana panjang warna hitam sedang memegang kertas ukuran A4. Di samping kirinya ada banner bertuliskan KPAJ yang dilengkapi dua gambar berisi beberapa anak kecil juga beberapa tulisan lainnya. Namun, dari tulisan-tulisan tersebut yang terlihat jelas hanya tulisan KPAJ. KPAJ sendiri adalah kepanjangan dari Komunitas Pencinta Anak Jalanan. Komunitas ini sudah berdiri sejak tujuh tahun lalu. Para penggiat komunitas ini selalu melakukan kelas di hari Minggu setiap pukul 09.00 s.d. 11.00 WITA. Itulah pengetahuan awal saya tentang KPAJ melalui informasi yang saya dapatkan dari Tari ̶ salah satu anggota KPAJ yang juga pernah menjabat sebagai ketua ̶ yang sudah sejak masa kuliah berkecimpung di komunitas itu. Dia pulalah yang mengajak saya untuk melihat secara langsung kegiatan mereka di hari Minggu.

Pukul 10.23 WITA saya dan Tari baru tiba di sana. Alhasil hanya sebagian kegiatan yang bisa saya lihat. Kegiatan di hari itu adalah pelajaran menanam makanya anak-anak dan anggota komunitas itu sedang sibuk memotong dan melubangi botol minuman bekas yang akan difungsikan sebagai wadah menanam.  Botol-botol yang sudah digunting itu pun diisi dengan tanah.

“Adik-adik hari ini tanaman yang akan kita tanam adalah sayur sawi.” Terlihat seorang perempuan sedang berdiri memegang dua gelas plastik yang berisi bibit dan benih. Anak-anak memperhatikannya. “Karena benihnya tidak cukup makanya kita tanam bibitnya saja ya, tahu apa bedanya bibit sama benih?” perempuan itu melanjutkan.

“Tidak kak,” anak-anak menjawab serentak.

“Yang di tangan kiri kakak ini namanya benih, ini sudah ada kecambahnya. Yang di tangan kanan kakak ini yang ada airnya dan ada biji-bijinya itu namanya bibit. Kalau kita menanam bibit itu harus direndam dalam air dulu selama semalam.” Setelah penjelasan itu, ada lagi anak-anak yang bertanya tentang apa itu kecambah. Si perempuan terlihat mencari kosakata untuk memberikan pengertian tentang apa itu kecambah. Sepanjang penjelasan, ada beberapa istilah pertanian yang diungkapkan. Anak-anak kurang paham dengan istilah-istilah itu begitu pun dengan saya. Jadilah dia harus mencari kata-kata yang mudah diterima oleh anak-anak untuk menyampaikan maksud yang diinginkan. Terlihat pengurus KPAJ lainnya turut membantu memberikan pengertian kepada anak-anak.

Sebelum bibitnya disemai di atas wadah yang berisi tanah tadi, terlebih dahulu tanahnya dijenuhkan. “Adik-adik tahu dijenuhkan?”

“Jenuh itu bosan kak.”

Orang-orang yang mendengar jawaban tersebut pun tertawa

“Bukan, bukan itu dek, dijenuhkan maksudnya tanahnya diberi air dulu sebelum bibitnya disemai.”

“oh bilangki kak.”

Satu dua anak terlihat berlari ke danau untuk mengambil air untuk tanah yang akan dijenuhkan. Namun, seorang lelaki dengan sigap berlari menghalangi mereka. Anak-anak tidak dibiarkan mengambil air sendiri karena takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Lagipula, air untuk keperluan penjenuhan sudah disiapkan oleh mereka.

Melihat antusias anak-anak mulai berkurang. Salah satu pengurus KPAJ meneriakkan yel-yel,

“Tepuk semangat,” diiringi dengan tepuk tangan sebanyak tiga kali yang membentuk bunyi prok prok prok.

“se,” diiringi dengan bunyi prok-prok-prok pula.

“ma,” masih diiringi dengan bunyi prok-prok-prok.

“ngat.” Sampai suku kata yang ketiga ini bunyi prok-prok-prok masih terdengar.

“Se…. mangat!!” Mereka pun kembali memperhatikan. Kegiatan menanam hari itu pun ditutup dengan penilaian kreasi wadah tanaman tiap-tiap kelompok.

Setelah menyelesaikan kegiatan menanam, tibalah waktu makan. Seorang anak lelaki berbaju kuning bertuliskan “I Love Makassar” mengacungkan jari telunjuknya ke atas melampaui kepalanya bersedia memandu teman-temannya membaca doa sebelum makan. Belakangan saya tahu namanya adalah Farel. Suara Farel terdengar cempreng, tetapi hal itu tidak menjadi perhatian teman-temannya. Doa dipandu Farel diikuti oleh teman-temannya. Suara mereka layaknya sebuah paduan suara.

Wal Asri innal insana….” Seorang anak membaca potongan surah Al-Ashr yang baisanya dijadikan doa untuk menutup kegiatan. Saya teringat waktu SD doa ini dilafalkan sebelum pulang setelah pelajaran Agama. Saya dan pengurus KPAJ yang mendengar lafal tersebut tertawa. Sontak mata kami langsung tertuju kepada anak tersebut. Anak itu ternyata disapa oleh teman-temannya dengan “Balanda”. Saya pikir itu hanya julukan yang diberikan untuknya. Kata Balanda sebenarnya berasal dari kata Belanda yang mengacu kepada orang berkulit putih yang pernah menjajah di Indonesia. Namun, anehnya julukan itu sangat kontras dengan warna kulitnya. Sapaan itu juga ternyata bukan julukan, tetapi memang nama aslinya. Setelah membaca doa, pengurus KPAJ pun membagikan lemper yang sedari tadi terbungkus rapi dalam kantong plastik.

“Sampahnya dikumpul di sini ya adek-adek.” Salah seorang perempuan melangkah ke tengah karpet  yang tengah diduduki oleh anak-anak sambil menaruh kantong plastik bening di tengah.

***

Anak-anak yang saya jumpai hari ini adalah anak-anak yang selalu saya ingin temui di tengah hiruk-pikuk gempuran teknologi sekarang ini. Anak-anak ini adalah anak-anak berbeda dengan yang sering saya temui di ruang-ruang kelas yang lekat dengan gawai masing-masing. Tertawa cekikikan atau terbahak-bahak karena melihat hal lucu yang ada di layar handphone masing-masing. Akan tetapi, anak-anak yang saya temui di Minggu pagi ini adalah anak-anak  tanpa gawai. Tertawa cekikikan dan terbahak-bahak karena tingkah laku orang-orang yang ada di sekitar. Mereka fokus dengan interaksi di dunia nyata. Beinteraksi dengan alam dan sesama.