Matahari tampak malu-malu memperlihatkan wajahnya hari ini. Di langit, tampak dominasi warna putih daripada warna biru. Namun, suhu tetap saja panas. Kipas angin masih setia menemani mengusir panas. Saya masih dalam tengkurap. Kepala masih tegak dan mata masih awas. Pulpen masih di tangan kanan bersiap mencatat jika ada kalimat-kalimat penting yang didapati dalam buku. Sesekali buku itu dalam posisi berbaring atau berdiri mengikuti kemauan si empunya. Buku itu sampulnya berwarna merah dengan tulisan Telinga Palsu sebagai judul, ditulis dengan tinta berwarna silver. Di bawah judul tersebut mengikut tulisan “100 literasi pilihan koran Tempo Makassar 2014 ̶ 2016.” Di samping semua tulisan itu, ada gambar yang memperlihatkan sebagian tubuh, yaitu kepala, kuping, leher, bahu, lengan, dan dada. Gambar tersebut berwarna hitam, kecuali bagian kuping. Gambarnya hanya diambil dari sudut kiri ketika saya memandangnya.
Membaca buku tersebut membuat saya menemukan beberapa literasi yang memperlihatkan rupa Kota Makassar. Penggambaran tersebut lebih merupakan keresahan yang dialami ketika menetap di salah satu kota besar ini. Beberapa tulisan yang saya maksudkan itu terdiri atas empat literasi dari tiga penulis. Keempat literasi ini merangkum kejadian-kejadian yang mewarnai kota ini yang sedikit banyak pernah pula saya alami. Mari menengok satu per satu tulisan yang saya maksudkan.
1.“Mahasiswa, Sang Penutup Jalan “ Karya Aslan Abidin
Aslan Abidin ̶ dalam tulisan ini ̶ menuliskan kelakukan mahasiswa ketika melakukan demonstrasi yang kerap menutup jalan umum. Tulisan ini didasarkan pada pengalaman yang beliau alami di pekan kedua November 2014 di depan salah satu universitas swasta di Makassar. Beliau menganggap bahwa tindakan menutup jalan ketika berdemo adalah sebuah kekonyolan karena objek yang dituju dalam berdemonstrasi berada di ibu kota sana. Justru rakyat ̶ yang biasa diatasnamakan dalam demo ̶ yang dirugikan karena jalan ditutup sehingga menghambat aktivitas.
Beliau meragukan demonstrasi dengan penutupan jalan tersebut didasarkan pada pembelaan pada rakyat. Justru para demonstran dianggap sebagai agresor perampas hak jalan khalayak ramai. Ketika rakyat mulai melawan agresor, terjadilah tawuran antara mahasiswa dan masyarakat. Di lain sisi, bentrok mahasiswa dengan polisi yang berusaha membuka jalan juga pernah terjadi.
2. “Di Kota Ini, Anak Kita Bermain Api” Karya Anis Kurniawan
Dalam tulisan ini, Anis Kurniawan melihat ruang bermain yang tersedia di Makassar sangat kurang. Alhasil, tempat yang dijadikan anak untuk bermain adalah di jalan kompleks perumahan atau lorong-lorong yang tentu saja juga berfungsi sebagai jalan. Dengan tidak adanya sarana bermain, anak-anak akan di rumah bermain game melalui laptop, telepon seluler, atau playstation atau menonton televisi yang menyuguhkan program yang berbau kekerasan dan mistis, musik orang dewasa yang dilengkapi dengan goyangan, fashion, dan masih banyak lagi.
Anak-anak yang bermain di rumah akan terancam berjiwa kaku, egois, dan kehilangan kepekaan terhadap lingkungan. Hal itu bisa saja berimbas pada kesehatan mental dan fisik. Bukan hanya anak di kota yang mulai kehilangan tempat bermain. Namun, pola permainan anak di kampung sudah mulai bergeser pula ke game. Semua itu dimotori oleh teknologi. Beliau menyayangkan permainan seperti kelereng, petak umpet, wayang, layang-layang, perang-perangan, dan tali-temali kini sudah kurang diminati. Padahal, permainan-permainan tersebut memuat nilai-nilai seperti kebersamaan, kreativitas, keberanian, dan masih banyak lagi. Hal miris lainnya adalah Indonesia sebagai negara berkembang hanya memiliki ruang bermain anak rata-rata 2.000 meter persegi per anak, sedangkan Amerika dan Eropa yang merupakan negara maju memiliki sekitar 10.000 meter persegi per anak.
3. “Pengemis Profesional” Karya Shinta Febriany
Makassar sepertinya kota yang tidak luput dijamuri oleh pengemis. Dalam tulisan ini, Shinta Febriany pernah melihat seorang pengemis di depan sebuah toko. Namun, ia sangsi akan pengemis itu mengemis karena kelaparan dan kemiskinan.. Di tempat yang berbeda, ia pernah melihat pengemis dengan dandanan berbeda. Memakai baju koko, bersarung, dan berkopiah membawa celengan yang bertuliskan nama panti asuhan. Dia melihat ada tipu muslihat. Bukan tanpa alasan karena beberapa pengemis diberitakan memiliki kekayaan finansial. Mereka bisa memiliki sebuah mobil, rumah, dan kekayaan lainnya dengan mengemis. Kasus ini juga pernah dialami oleh Selandia Baru, tetapi bisa diatasi dengan kampanye yang berisi imbauan kepada warga kota agar berhenti memberi secara langsung kepada pengemis. Akan lebih baik jika diserahkan kepada lembaga amal. Di kota ini, beliau melihat bahwa kepengemisan terus berlangsung karena kita sebagai warga kota memberikan apa yang pengemis itu minta. Namun, sesungguhnya tindakan itu malah membuat kepengemisan semakin menjamur.
4. “Kota Sampah” Karya Shinta Febriany
Salah satu ikon kota Makassar adalah Pantai Losari. Dalam tulisan ini, Pantai Losari yang seharusnya menjadi kebanggaan warga Makassar dengan keindahan yang disuguhkan. Namun, dalam tulisan ini Pantai Losari memperlihatkan pemandangan yang jauh dari kata indah. Sampah-sampah banyak ditemukan di permukaan laut. Tak jauh berbeda dengan pelatarannya. Hal ini membuat Shinta Febriany merasa malu karena pada saat itu teman-temannya datang berkunjung ke Pantai Losari. Beragam peraturan telah dipasang. Namun, sayang sekali peraturan itu hanya pajangan karena tak dihiraukan oleh pengunjung. Ditambah lagi, kontainer sampah diletakkan di badan jalan, seberang rumah sakit. Tentu saja pemandangan ini menganggu, bahkan bisa membuat warga yang lewat terkena penyakit.
Beliau berharap membangun peradabann bisa dimulai dengan ajakan mencintai kota secara sungguh-sungguh sehingga menciptakan kota yang merdeka tanpa sampah ketimbang membangun peradaban Makassar lewat Pinisi dan gedung-gedung canggih seperti cita-cita Walikota yang disampaikan dalam pidatonya di sebuah perhelatan sastra.