Thallasophile

Malam Minggu di Rumah Duka

Hujan masih rintik-rintik. Langit gelap tak terlihat satu bintang pun. Petir bergemuruh mengantar keberangkatan dari Tamalanrea menuju ke sebuah rumah di daerah bandara lama. Aspal tampak basah karena hujan yang turun sejak sore tadi. Cuaca hari ini berbeda sekali dengan dua hari sebelumnya. Kami, saya dan lima orang teman, melaju memakai kendaraan beroda dua. Kami yang terdiri atas lima orang perempuan dan seorang lelaki mengendarai tiga motor saling berboncengan. Dingin dan macet menghiasi perjalanan. Di tengah perjalanan, hujan mulai deras, kendaraan pun diberhentikan sejenak untuk memakai jas hujan agar tubuh tidak basah.

Kami pun masuk ke area yang orang-orang sebut bandara lama. Sepanjang perjalanan, saya melihat deretan rumah di pinggir jalan. Berbeda sekali dengan bandara baru yang di pinggir jalan hanya ada beberapa bangunan, itu pun bukan rumah. Memasuki lorong dan berbelok beberapa kali akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Rumah itu di bagian sampingnya berkumpul banyak orang sedang duduk di kursi plastik. Mereka duduk dinaungi sebuah tenda berwarna biru untuk melindungi dari hujan. Seorang berada di depan orang-orang tersebut sedang memegang mic dan sedang berceramah. Hujan pun turun dengan deras seakan menyambut kedatangan kami. Namun, Pak Ustaz yang sedang berceramah tadi suaranya tak kalah dari suara rintik hujan. Sesekali orang yang berkumpul itu tertawa mendengar ceramah yang disampaikan. Saya agak risih dengan adegan itu. Pasalnya baru saja si pemilik rumah ditinggalkan oleh suami yang sekaligus sebagai ayah dari tiga orang anak. Tak patut jika memperlihatkan kesenangan di tengah kedukaan. Namun, mungkin itulah cara agar kehilangan tak terlalu perih.

Malam ini adalah malam tausiah dari senior yang bapaknya meninggal di hari Jumat kemarin. Saya dan teman-teman yang datang hari ini adalah yang tak sempat melihat prosesi pemakaman. Akhirnya, jadilah kami datang ke tausiah. Hujan mulai reda. Namun, suara Pak Ustaz masih deras terdengar di telinga. Kalimat-kalimatnya sesekali memberikan semangat kepada orang yang ditinggalkan. Sesekali juga menasihati dengan nada bicara yang tinggi seperti sedang marah. Sesekali juga bertanya kepada orang-orang yang berkumpul. Tausiah ditutup dengan mengirimkan doa kepada almarhum.

Tausiah sudah selesai. Makanan ringan pun disajikan yang dibungkus dengan kotak.  Kami makan dan disapa oleh Kak Zul, senior yang bapaknya baru saja meninggal. Kami berpindah duduk dari kursi plastik ke kursi yang dudukannya lebih empuk. Saya duduk di tengah-tengah empat teman perempuan. Kami memakan kue yang diberikan, sesekali melihat isi kotak satu sama lain untuk saling tahu isinya atau saling bertukar kue. Kak Zul memulai perbincangan pertanyaan, “Kenapa terlambat sekali datang?”

“Hujan kak, Ini juga baru selesai mengajar.” Jawab teman yang laki-laki sambil menunjuk saya.

Kak Zul pun menawari kami untuk minum kopi. Namun, saya dan empat teman perempuan menolak untuk minum kopi karena sudah  malam takut tak bisa tidur. Akhirnya, hanya teman laki-laki, yang biasa kami sapa Kamsah, meminum kopi yang ditawarkan. Kak Zul pun melanjutkan kisahnya merawat sang Bapak. Ia bercerita ketika disuruh pulang seminggu sebelumnya, tepatnya malam Minggu. Ia sibuk mencari-cari tiket pulang karena dikabari bahwa bapaknya masuk rumah sakit lagi setelah sempat baikan.  Bapaknya sudah lama sakit. Tepatnya diabetes selama empat belas tahun. Namun, tak hanya itu,  penyakit lain pun seperti ginjal, stroke juga menyerang tubuh beliau.

Di rumah sakit, ia sempat kebingungan mengambil keputusan apakah harus menuruti kemauan bapaknya yang mau pulang, sedangkan infus ada di beberapa bagian tubuh beliau atau tetap bertahan di rumah sakit. Ia sempat bertanya pada tantenya. Namun, keputusan dikembalikan kepadanya sebagai anak pertama.

“Kauji nak, bapakmu!” begitu kisahnya.

Sang bapak masih bersikeras untuk pulang. Akhirnya, di hari Rabu keinginan sang Bapak dikabulkan. Ia merawat sang Bapak di rumah bersama ibu dan kedua adiknya. Sampai akhirnya sang Bapak menghembuskan napas terakhir di hari Jumat. Ia pun melanjutkan cerita dengan proses menuntun syahadat, memandikan, mengafani, sampai menguburkan.

“Sakit dan syukur. Sakitnya itu karena ditinggalkan. Syukurnya itu karena sudah bisa rawat bapak selama sakit.” Saat mengatakan hal tersebut di wajahnya terlihat senyum dengan ginsul di sebelah kiri. Namun, matanya menyiratkan kesedihan yang mendalam. Kantong matanya terlihat jelas. Mungkin ia tidak tidur selama seminggu itu untuk mengurus sang bapak. Selesai mengatakan tiga kalimat itu, teman di samping kanan mulai mengeluarkan air matanya. Mungkin saja ia juga teringat oleh bapaknya yang telah pergi setahun yang lalu. Saya juga baru tersadar saya duduk diapit oleh dua orang teman di samping kiri dan seorang di samping kanan yang telah kehilangan bapaknya.

Begitulah obrolan di malam Minggu. Obrolan tentang bapak. Setiap kali Kak Zul menceritakan tentang bapaknya seperti ada tangis yang tertahan. Namun, dibungkus dengan ketegaran dan senyuman.

Malam itu kami pamit pulang karena sudah larut. Kami mencium tangan ibunya Kak Zul yang telah ditinggal suaminya

“Bisaki datang lagi besok nak?” Ucapnya kepada kami ketika mencium tangannya.

Iye bu diusahakan.” Kami pun menjawab

Hujan sudah reda dan kami pun pulang membawa sedih di malam Minggu itu.