Matahari mulai menampakkan sinarnya. sangat berbeda dengan hari sebelumnya yang mendung dan hujan. Saya sudah duduk di sebuah kursi di dalam sebuah kafe menunggu seseorang. Sesekali menengok ke arah jalan masuk sekiranya orang yang sedang ditunggu datang.

Sekitar sepuluh menit seorang perempuan berkaca mata memasuki kafe. Tingginya kira-kira 155 cm. Ia duduk di kursi kosong yang ada di depan saya. Perempuan itu bernama Andi Utari Artika Sari, seorang alumnus Sastra Indonesia, Universitas Hasanuddin. Ia resmi melepas gelar mahasiswanya September 2016.

Perempuan ini beberapa waktu lalu mengajak saya ke kegiatan salah satu komunitasnya, Komunitas Pencinta Anak Jalanan (KPAJ). Saya masih ingat waktu itu di tepi Danau Unhas, ia berdiri di depan anak-anak menyuruh mereka duduk dengan rapi tanpa membelakangi satu sama lain.

Tari, begitu ia akrab disapa, sudah bergabung di KPAJ sejak tahun 2012. Dua tahun setelah berdirinya KPAJ. Alasan bergabungnya di komunitas itu bukan karena semata-mata karena ia suka anak-anak, suka mengajar dan berbagi. Akan tetapi, ada alasan lain. Dia butuh pelarian untuk melupakan sang mantan waktu itu. Namun, pelarian itu akhirnya ia seriusi.

“Jadi ini KPAJ pelarian ji?” Tanyaku

“Pelarian yang diseriusi.” Jawabnya

Keseriusannya dapat dilihat dari keaktifannya di KPAJ sampai sekarang. Bahkan, ia pernah menjadi nakhoda KPAJ 2015/2016. Menjadi pemimpin di KPAJ tentu saja ia harus menunda kelulusannya. Memimpin tentu saja ada jalan terjal yang harus dilalui. Begitu pun dengan perempuan berusia 23 tahun itu. Selama kepengurusannya, ada saat ketika semua volunteer tidak hadir di kegiatan KPAJ. Tiga minggu hanya dia yang datang di Sekolah Ahad-kegiatan rutin KPAJ setiap hari Minggu- Tiga minggu itu hanya ada dia dan anak-anak yang datang membawa buku, pulpen, dan kepala yang ingin diisi ilmu. Di depan anak-anak itu, ia membagi ilmu yang dipunyainya, ia sendirian. Hatinya sebenarnya menangis tapi ia harus membungkusnya dengan semangat dan keceriaan.

Di hari Minggu saat orang-orang masih enak-enaknya tidur, ada Tari yang harus bangun pagi-pagi menyediakan alas duduk untuk anak-anak, menyapa, memarahi, dan setelah itu tertawa melihat tingkah laku mereka.Saya pun menanyakan alasan mengapa ia melakukan hal tersebut.

“Kenapako bisa bertahan dengan situasi seperti itu?” tanyaku

“Kebahagiaan itu Irma ada banyak macamnya dan sumbernya. Saya tidur di rumah sambil nonton dan ngemil mungkin bikin enak-enak sesaat. Tapi datang di Sekolah Ahad  berbicara di depan anak-anak polos itu, memikirkan masa depan mereka bikinka merasa lebih hidup. Liat mereka jadi pintar menari, liat mereka dapat pujian dan tepuk tangan dari orang-orang bikin bahagia sekali.” Kenangnya.

Selama tiga minggu itu, ia pun merenung memikirkan penyebab para volunteer tidak datang ke kegiatan KPAJ. Ia mengoreksi dirinya. bertanya-tanya apakah ia tidak becus menjadi pemimpin. Tiga minggu itu ia lalui dengan merenung dan bersabar

Ia pun mencari solusi untuk keluar dari masalah tersebut. Tari meminta anak-anak KPAJ membuat surat untuk para volunteer yang isinya pertanyaan dan bujukan agar ada yang mau mengajar mereka. Tak hanya sampai di situ, ia pun meminta untuk bertemu dengan para volunteer itu untuk membicarakan apa yang menjadi kendala mereka sehingga tidak datang ke Sekolah Ahad. Bahkan, juga membuka open recruitment bagi orang-orang yang mau bergabung. Perlahan-lahan mereka pun mulai aktif kembali.

Langkah itu berhasil. Terbukti ketika Tari mengajak saya ke sekolah Agad beberapa minggu lalu di tepi danau pagi itu, sekira dua puluh orang volunteer datang. Beberapa orang menyapa dan mengajak berkenalan.

Tari  menunda mendapatkan gelar sarjana karena memilih tanggung jawab di KPAJ. Dia bisa saja berbahagia mendapat gelar sarjana sastranya di tahun 2015, tetapi ternyata dia lebih berbahagia ketika menjalankan tanggung jawab mengajari anak-anak itu.