​“We tundukko,” sebuah suara memberi perintah untuk membuat pandangan ke bawah. Saya yang masih mahasiswa baru (maba) takut mendegar suara lantang itu dan tentu saja mematuhi perintah tersebut. Waktu itu kurang lebih ada empat puluh orang mahasiswa baru Jurusan Sastra Indonesia  Unhas yang mengikuti pengaderan, termasuk saya.

Mahasiswa baru dan pengaderan adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Tahun 2011 adalah tahun untuk saya merasakan kedua hal tersebut. Saya bertemu dengan banyak orang baru dengan karakter yang berbeda-beda. Setiap selesai kuliah, kami dikumpulkan oleh senior di belakang himpunan (sekretariat). Hari libur juga tidak luput dari pengumpulan. Di tengah pengaderan, tidak semua yang bertahan pada proses itu. Tersisa sekitar tiga pulhan orang yang melulusi pengaderan.

Pengaderan mengharuskan kami saling mengenal satu sama lain, bukan cuma nama panggilan yang harus kami tahu, melainkan nama lengkapnya juga. Dari tiga puluhan orang tersebut, ada satu nama yang frekuensi kebersamaannya dengan saya lebih banyak dibandingkan dengan teman yang lain. Hampir semua kegiatan di himpunan kami selalu selalu terlihat bersama-sama. Bahkan, ada senior yang menganggap kami kembar. ketika kami namanya dipanggil biasa tertukar. Kalau salah satu datang di sebuab kegiatan dan tidak terlihat bersama, pasti orang-orang akan bertanya di mana yang satunya. Kami juga sering makan bersama, pergi ke mana-mana sering bersama. Dia juga biasa menginap di kos saya waktu kegiatan himpunan mengharuskan kami pulang larut malam.

Namanya Nikarlina, kami biasa memanggilnya Ina.  Ada juga yang memanggilnya Lina karena ada salah satu senior yang namanya sama dengannya. Dia merupakan keturunan Bugis, tepatnya Bugis Bone. Dia lahir tahun 1995, tepatnya tanggal 6 Januari. Dari semua teman angkatan saya, dialah yang paling muda, makanya jika dulu kami disuruh berbaris berdasarkan umur pastilah dia ada di barisan paling belakang.

Sudah banyak kejadian-kejadian yang kami alami bersama. Mulai dari kejadian yang menyedihkan, menyenangkan, dan memalukan. Rasanya seperti nano-nano. Dia jugalah salah satu orang yang pernah mengajari saya naik motor. Waktu itu, dia mengajari saya naik motor di jalan sekitar Unhas. Kami mengelilingi Unhas bersama, saya menyetir dia ada di belakang saya memberi arahan. Awalnya saya bawa motor lancar-lancar saja. Dari arah fakultas teknik, motor akan belok kiri ke jalan menuju gedung rektorat. Saat itu, gasnya terlalu tinggi dan cara saya membelokkan motor terlalu ke kanan. Akhirnya, kami pun jatuh.

“Ina nda apa-apa ji?” Tanya saya khawatir

Ndaji, kauyya?” Dia balik bertanya

Ndaji, tapi sakitnya telingaku, mauka menangis tapi nda bisa keluar air mataku,” jawab saya waktu itu.

Di dekat lokasi kami jatuh, tiga orang yang sedang berjalan kaki berlari menuju kami untuk membantu. Mereka membangunkan motor yang posisinya jatuh ke samping. Syukur kami berdua tidak apa-apa. Motornya Ina kami bawa ke bengkel yang ada di pintu satu Unhas karena salah satu bagiannya terlepas, tetapi tidak parah. Kami hanya membayar Rp.5.000,00 waktu itu. Di motor tersebut juga banyak goresan-goresan. Sampai sekarang, saya belum memperbaiki goresan-goresan di motor Ina. Ina juga tidak pernah menuntut untuk motornya diperbaiki.

Ina juga pernah mengajari saya menari. Kami masih menjadi pengurus di himpunan waktu itu. Program kerja saat itu adalah Festival Sastra Indonesia (FSI). Saya memang belum pernah menari sebelumnya. Dengan sabar, Ina mengajarkan saya gerakan-gerakan Tari Pa’duppa. Badan saya yang kaku tentu saja membuat gerakan yang saya buat terlihat sangat kaku. Saking kakunya, seorang senior pernah mengatakan, “Seperti orang-orangan sawah.” Akan tetapi, Ina tak pernah marah waktu mengajari saya.

Ketika ajakan untuk buka puasa bersama di sebuah grup media sosial kurang yang merespon, Ina juga tetap sabar dan malah menghubungi satu per satu dari kami. Namun, hasilnya tetap tak banyak yang datang. Hanya empat orang yang datang waktu itu.

Semoga tidak hilang kesabaran Ina karena Allah bersama orang-orang yang sabar!
#15harimenulis