Thallasophile

Merayakan Tujuh Belas Agustus

“​Irma ada kegiatan nanti tanggal 17 Agustus? mauki saya ajak ke museum.”

Nda adaji kak.” Begitulah percakapan saya dan Kak Anna di pesan WhatsApp.

Tujuh belas Agustus pun datang, tepat di hari Jumat. Saya memang tak punya kegiatan jika sedang tanggal merah. Jadilah saya ikut kegiatan yang diadakan oleh Lembaga Lingkar dan diundang langsung oleh Kak Anna sebagai koordinator lembaga tersebut. Kegiatan ini diberi tema Merayakan Hari Kemerdekaan di Zaman Milenial. Tujuh belasan kali ini tentu sangat berbeda dengan tahun-tahun yang lalu, kalau tahun lalu saya tidak ingat apa yang saya lakukan di hari kemerdekaan karena tak ada yang berkesan, tetapi tentu tahun ini berbeda dong.

Ada baca roman, tur museum, dan nonton bareng. Tanggung jawab baca roman langsung dipindahtangankan ke saya setelah acara dibuka. Roman yang dibacakan adalah  karangan Muchtar Lubis dengan judul Jalan Tak Ada Ujung. Sebenarnya, Jalan Tak Ada Ujung ini adalah novel si. Roman itu menceritakan tokoh dari lahir atau sejak kecil sampai meninggal, sedangkan novel tidak. Namun, ada beberapa orang yang menyamakan antara roman dengan novel. Novel ini adalah novel yang sarat akan deskripsi dan berlatar tahun 1946. Mengawali pembacaan Jalan Tak Ada Ujung, saya membacakan begitu terkesannya saya pada cara Muchtar Lubis dalam mendeskripsikan kelakukan Guru Isa. Selanjutnya, pembacaan oleh Goenawan Monoharto, salah satu sastrawan. Kemudian, yang Aidil Akbar merupakan penulis cerpen, aktif di kala literasi. Kepala Museum Kota Makassar, perwakilan dari Dinas Kebudayaan Kota Makassar, dan hadir pula perwakilan lembaga adat Sulsel. Tak ketinggalan pelajar pun turut meramaikan. Sebuah apresiasi untuk para pelajar yang bisa ikut bergabung. Semoga mereka akrab dengan karya sastra.

Goenawan Monoharto saat membacakan penggalan novel Jalan Tak Ada Ujung

Setelah pembacaan roman, kami diajak tur museum. Saya baru mengetahui kalau di Makaassar ada tiga museum, Museum Kota, Museum La Galigo di Rotterdam, dan Museum  Karaeng Pattingalloang di Somba Opu. Kegiatan lembaga Lingkar dilaksanakan di Museum Kota. Ruangan pertama yg kami, saya dan 22 peserta tur lainnya, masuki adalah ruang yang terdapat lukisan Latenritatta, Sultan Hasanuddin, dan Speelman. Di seberang lukisan Speelman ada juga lukisan Ratu Wilhelmina. Pemandu menceritakan bahwa dulu Latenritatta dan Sultan Hasanuddin layaknya saudara. Namun, mereka diadu domba  oleh Speelman dan akhirnya berperang. Namun, setelah berperang mereka kembali berbaikan. Sebelum Sultan Hasanuddin mangkat, beliau berpesan kepada rakyatnya agar  kuburannya didekatkan dengan Latenritatta. Di ruangan tersebut, juga terdapat foto para mantan walikota. Terdapat sembilan belas foto di sana. Foto yang berlatar hitam menunjukkan bahwa para mantan walikota tersebut sudah meninggal, sedangkan yang berlatar biru, menunjukkan bahwa beliau-beliau tersebut masih hidup. Salah satu walikota yang menarik adalah Patompo.

Pemandu menjelaskan sosok Patompo

Di dalam ruangan tersebut terdapat foto dengan wajah orang yang bernama Patompo. Nama lengkapnya adalah H.M. Daeng Patompo. Beliau menjabat sebagai walikota selama dua periode. Pertama dilantik pada 8 Mei 1965 dan kedua kalinya dilantik pada 16 Agustus 1970. Masa jabatannya sampai tahun 1978. Beliau merupakan seorang yang lahir di Polewali, 16 Agustus 1926. Beliau adalah seorang colonel dan seorang walikota yang melegenda. Di dalam sebuah kaca transparan terdapat foto beliau memakai baju seragam putih persis seperti yang pernah dipakai oleh walikota Danny Pomanto.. Yang menarik dari beliau adalah mantan walikota ini memiliki sebuah kunci yang tertulis namanya, Mr. Patompo, dan Osaka, kota di Jepang. Seperti yang dijelaskan oleh pemandu, Patompo bisa pergi ke Jepang secara bebas selama dia membawa kunci tersebut. Kunci itu bagaikan tiket bagi beliau. Kunci itu hanya dimiliki dan boleh digunakan oleh Patompo seorang.

Di ruang lain terdapat pakaian adat yang dipajang pada manekin. Manekin-manekin tersebut dijejerkan dan memakai baju adat Toraja, Mandar, Bugis, dan Makassar. Selain itu, juga terdapat manekin berpasangan dengan memakai baju prngantin lengkap dengan foto nanak-anak kecil sebagai passappi. “Boleh foto di sini ya. Yang foto di sini biasanya cepat menikah.” Kata pemandu kepada kami. Sontak saja banyak yang langsung berfoto di depan manekin berbaju pengantin tersebut. Tur dilanjutkan ke ruang sidang yang biasa digunakaan untuk sidang DPR sewaktu pemerintahan Patompo. Kursinya adalah kursi yang asli yang memang pernah dipakai dulu.

Kegiatan terakhir adalah nonton bersama. Karena tujuh belas Agustus, film yang dipilih adalah film yang bertema perjuangan, ya Nagabonar. Film perjuangan yang dikemas dengan banyak humor. Sepanjang pemutaran film, banyak penonton yang tertawa karena kelakukan si Nagabonar, pemeran utama dalam film tersebut. Nagabonar adalah seorang realistis dalam mengambil keputusan dan tentu saja sangat sayang kepada ibunya. Nagabonar tak takut pada siapa pun, kecuali pada emaknya. Khas orang Sumatera sekali.

Film berakhir sekitar pukul 15.44 Wita. Diskusi pun dibuka oleh Kepala Museum, yaitu Dra. Hj. Nurul Chamisany. Beliau sangat mengapresisasi kegiatan-kegiatan semacam ini. Dia juga sangat terbuka  dan mendukung jika ada mahasiswa yang ingin berkegiatan di Museum Kota, terutama yang berkaitan dengan kebudayaan. Beliau juga menawarkan untuk menjadi relawan di museum tersebut sebagai pemandu. “Saya butuh pemandu yang bisa berbahasa Belanda atau Inggris karena biasanya tamu-tamu saya ada yang datang dari Belanda atau Australia.”

Foto bersama Kepala Museum dan peserta setelah semua rangkaian acara selesai

Kegiatan pun usai dan kami pulang membawa lelah dan bahagia.