“Semangat Sejarah untuk Perubahan,” sekumpulan anak-anak sedang berteriak dipandu oleh seorang perempuan. Mereka adalah anak-anak Kampung Kara’ba dan yang memandu adalah Anna. Suara itu menggema di tengah sepinya aktivtas siang itu di Jalan Balaikota, Makassar. Mereka masih bersemangat untuk melihat koleksi dari Museum Kota Makassar.
Hari itu, 16 September 2018 bersama anak-anak Kampung Kara’ba dan beberapa mahasiswa jurusan sejarah di Makassar mengikuti sebuah kegiatan. Kegiatan ini diberi tema Jalan-Jalan ke Bangunan Tua yang diadakan oleh Lembaga Lingkar di bawah naungan Komunitas Lilin.
“Kak, ini Lingkar apa bedanya dengan Komunitas Lilin?” tanya saya pada Anna yang saya sapa dengan panggilan Kak Anna. Kak Anna atau Anna Asriani Mukhlis adalah alumnus Ilmu Sejarah Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Hasanuddin. Ia sekarang menempuh magister di Universitas Negeri Makassar. Selain itu, ia juga aktif menulis. Baru-baru ini tulisannya diterima dan dipublikasikan oleh LIPI tentang kuliner Makassar.
“Lembaga Lingkar, Imagined History, Media Visual, dan Lembaga Penelitian di bawah naungan Komunitas Lilin yang diketuai oleh Arianto,” imbuhnya pada voice note yang ia kirimkan melalui WhatsApp. Komunitas Lilin sendiri berdiri karena keresahan tentang apa yang harus mereka (alumni jurusan Ilmu Sejarah Unhas) lakukan sebagai lulusan Ilmu Sejarah pascalulus dari jurusan tersebut. Keresahan yang dirasakan mereka, yaitu Anna, Anto, Kahfi, Ma’ruf, dan lain-lain melahirkanlah komunitas ini. “Event pertama yang dilaksanakan itu adalah diskusi mengenai komik rampokan celebes,” jelas Anna.
Anna juga menjelaskan bahwa untuk di kancah nasional mereka membawa nama Komunitas Lilin, seperti pada Workshop Pendataaan Cagar Budaya yang akan mereka ikuti. Nah, jika mereka berkegiatan di Makassar mereka akan menggunakan Lembaga Lingkar. Jadi, Lembaga Lingkar ini memang khusus bagian dari Komunitas Lilin yang menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang bersifat kesejarahan, kesastraan, dan kebudayaan. Kegiatan ini dikemas dalam bentuk seminar, tur, pertunjukkan seni, pemutaran film, lomba, dan kegiatan sosial.
Saat ini sudah banyak kegiatan-kegiatan telah diselenggarakan, di antaranya Tur Museum Kota Makassar Bersama Anak Jalanan, Wisata Kota Tua Makassar Chinatown, Kartini Celebration: Wanita dan Seni, Nonton dan Ngobrol Karya Sastra, Membaca W.S. Rendra: Ngobrol, Pembacaan Sajak, Musikalisasi.
“Kenapa namanya Komunitas Lilin?” tanyaku penasaran. “Makna lilin sendiri adalah benda sederhana yang mampu menerangi dalam kegelapan. Ini diambil berdasarkan hasil bacaan Anto dari buku Ben Anderson dengan judul Imagined. Itu juga yang menjadi sejarah terbentuknya nama majalah Imagined History.
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh Lembaga Lingkar secara khusus (dan secara umum Komunitas Lilin) biasanya juga melibatkan anak-anak, seperti Jalan-Jalan ke Bangunan Tua bersama Anak Kampung Kara’ba. Kampung Kara’ba sendiri adalah sebuah daerah yang terletak di Kelurahan Tallo, Kecamatan Tallo. Ada juga tur Museum Kota Makassar dengan mengajak anak jalanan. Selain itu, ada juga lomba mewarnai yang juga melibatkan anak-anak. Ketika ditanya alasan sering melibatkan anak-anak dalam kegiatan Lembaga Lingkar, Anna menyatakan bahwa anak-anak memorinya cepat menangkap sebuah pengetahuan. Selain itu, mereka punya pengalaman ke tempat-tempat bersejarah sekaligus belajar tentang sejarahnya. Pada usia dini, anak-anak akan mengalami proses pembentukan memori jangka panjang, tetapi belum detail seperti pada orang dewasa. Anak kecil lebih mudah mengingat hal-hal yang menarik dan menyenangkan. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh Lembaga Lingkar dikemas dengan menyenangkan seperti memberikan mereka hadiah. Hal ini bertujuan agar memori tentang kunjungan ke museum atau penjelasan tentang sejarah masih bisa mereka (anak-anak) ingat di kemudian hari walaupun tidak sempurna. Selain itu, akan lebih menyenangkan bila belajar dengan melihat langsung objeknya.
Pada tur ke museum Kota Makassar bersama anak-anak Kampung Kara’ba, mereka memasuki sebuah ruang yang berisi lukisan dan foto tokoh-tokoh penting yang pernah ada di Makassar, seperti Sultan Hasanuddin, sembilan belas walikota, dan H.M. Daeng Patompo. Seorang pemandu yang merupakan salah satu staf dari museum menjelaskan yang ada dalam ruang tersebut. Penjelasan yang ringan dan mudah dimengerti ditambah lagi dengan sedikit candaan.
Pengetahuan sejarah tentunya penting untuk diketahui agar kita bisa menjelaskan bahwa Makassar bukan hanya tentang uang panaik dan tawuran, tetapi Makassar juga punya orang-orang hebat, seperti H.M Daeng Patompo seorang kolonel dan seorang walikota yang pernah menjabat selama dua periode yaitu tahun 1965 dan 1970. Seorang yang punya “kunci sakti” dan bisa digunakan ketika ia memasuki Jepang. Hanya beliau yang bisa menggunakannya. Ia juga melegenda karena program kerja yang itawarkan ketika menjabat walikota adalah memberantas 3K (kemiskinan, kebodohan, dan kemelaratan).
Dari komunitas inilah saya tahu bahwa Fort Rotterdam juga dikenal dengan Benteng Pannyoa’. Saya pun baru mengetahui bahwa ada tiga museum di Makassar, Museum La Galigo di Fort Rotterdam, Museum Kota yang ada di Jalan Balaikota, dan Museum Pattingalloang di Somba Opu. Dari sini pula saya tahu bahwa sudah ada sembilan belas orang yang pernah menjabat sebagai Walikota Makassar.
Bagaimana dengan komunitasmu?