Pintu tiba-tiba terbuka dengan kecepatan sepersekian detik. Seorang perempuan muncul dengan memakai baju batik berwarna hijau, sedangkan jilbab dan rok berwarna senada, warna coklat. Ya, hari itu adalah hari Sabtu. Di bahu perempuan itu tergantung tas pianika. Bibirnya monyong karena tidak tahu ruang tempat belajarnya diganti, akibatya ia salah masuk kelas. Dari pintu, ia melangkah masuk ke ruang kelas sambil ditertawakan oleh teman-temannya karena mendengar si perempuan tadi diejek oleh pengajar di kelas sebelah. Karena tak tahan, ia pun mencoba meredakan tawa-tawa itu. Tapi semakin dia melarang temannya untuk tertawa semakin keras tertawa yang ia dengar.
“ We sans ko nah,” kata perempuan itu sambil bibir masih dalam posisi monyong.
Belakangan, saya ketahui bahwa sans ternyata adalah santai. Di kelas lain pun saya pernah mendengar seorang siswa SMA menggunakan kata sokab. Sokab ternyata adalah sok akrab. Akhir-akhir ini, saya semakin sering mendengar kedua kata tersebut. Sokab dan sans adalah salah dua bahasa yang dipakai di kalangan remaja saat ini. Kedua kata tersebut hanya digunakan oleh sekelompok orang yang sekarang lebih dikenal dengan bahasa gaul.
Bahasa gaul sebenarnya berasal dari bahasa prokem. Sejarah adanya bahasa prokem bisa dilacak dimulai sekitar paruh kedua dasawarsa 1950-an yang hanya digunakan oleh para bromocorah kemudian menjadi tren di kalangan anak muda kota. Bahasa prokem pun akhirnya meluas di kalangan para anak muda di dasawarsa 1970-an setelah hadir Teguh Esha yang dalam novelnya memperkenalkan kata-kata bahasa prokem. Bahasa ini umumnya digunakan di Jakarta tahun 1970-an. sebenarnya berasal dari kata preman yang dipotong dua fonem akhirnya, jadi tinggal prem. Prem ini lalu disisipkan ‘ok’ sesudah pr dan sebelum em. Akhirnya terbentuklah kata prokem. Bahasa prokem sekarang lebih dikenal sebagai bahasa gaul.
Belakangan juga muncul bahasa alay. Ada yang membedakan antara bahasa gaul dan bahasa alay. Bahasa gaul itu digunakan untuk ragam lisan, misalnya dalam percakapan seorang remaja mengucapkan sokab pada temannya yang sebenarnya yang dimaksudkan adalah sok akrab. Bahasa alay adalah bahasa yang digunakan pada ragam tulis, misalnya Contw0h b4h45A AL4y 1tU Sperty 1n1. Namun, tulisan ini akan membahas bahasa gaul saja.
Penggunaan bahasa gaul lebih dominan digunakan antarremaja di lingkungannya. Zaimah, seorang pelajar SMPN 35 Makassar mengatakan bahwa ia menggunakan bahasa gaul jika berbicara dengan teman-temannya. Bahasa gaul yang dipakai contohnya ue untuk menyatakan gue atau saya, sans untuk menyatakan santai, oaza/oaja untuk menggantikan kata oh.
“Kalau kayak sans, oaza atau oaja, pakbal, sokab itu semua dipake sama orang yang akrab paki kak,” katanya sambil menggoyang-goyangkan pulpen di tangan kanannya. Diakui pula oleh Zaimah bahwa ia menggunakan bahasa gaul karena mengikuti tren.
Aziza Hamka, seorang siswa SMA Negeri 21 Makassar juga mengaku sering menggunakan bahasa gaul dengan temannya. Bahasa gaul yang biasa Cica ̶ begitu ia akrab disapa ̶ gunakan tak jauh berbeda dengan yang digunakan oleh Zaimah, seperti kata sans, pakbal, dan sokab. Namun, Cica juga pernah menggunakan kepada ibunya, “Kalau ke Ibuku pernahka kak gunakan kayak ‘sans lah bu’ terus ibuku tanyami artinya ke saya, sudah itu dia pake juga ke temannya, baru temannya natanyaki lagi ibuku apa artinya,” terang Cica sambil sesekali menatap layar telepon genggamnya.
Diakui Zaimah dan Cica bahwa kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi dengan teman-temannya itu berasal dari media sosial, seperti youtube, salah satunya akun Reza Arap, instagram, dan di wattpadd.
Bahasa gaul yang sering dipakai oleh remaja merupakan sesuatu yang wajar. Remaja memang memiliki kecenderungan untuk mengikuti kelompoknya. “Ada istilah konformitas. berperilaku sesuai teman kelompoknya. Kalau temannya alim, ia juga akan ikut alim. Kalau sebaliknya juga seperti itu,” terang Emilia Mustary, seorang psikolog, lewat media sosial WhatsApp ketika saya menanyakan tentang penyebab remaja suka menggunakan bahasa gaul. Kecenderungan mengikuti teman kelompoknya disebabkan oleh pergaulan remaja lebih banyak dengan teman sebayanya dibandingkan dengan keluarga. Emilia menambahkan bahwa bahasa gaul itu cenderung tidak bermasalah yang penting remaja tetap diingatkan penggunaannya. Misalnya dengan orang tua penggunaannya cenderung dikurangi.
Setali tiga uang dengan Emilia, Anwar Jimpe Rahman yang dikenal sebagai peneliti, penulis, pustakawan, sekaligus bekerja di rumah penerbitan yang berfokus pada kebudayaan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat juga menganggap bahwa penggunaan bahasa gaul boleh-boleh saja. Menurutnya, bahasa gaul tersebut adalah bagian dari kebudayaan. “Bahasa itu kan bagian dari budaya, budaya itu kan cair cepat sekali berubah.”
Dikatakannya pula bahwa bahasa gaul juga bisa sebagai penanda zaman. Misalnya, di tahun 1980-an itu pernah ada kata doski, tetapi kata tersebut sempat hilang dan sekarang muncul lagi. Di tahun 1990-an ia juga pernah menggunakan kata biskal dengan teman-temannya ketika masih berkuliah. “Biskal itu adalah singkatan dari bisikan kalbu, kalau sekarang disebut curhat. Biskal itu bisa digolongkan ke dalam istilah lokal karena awalnya dulu itu di radio ada salah satu nama acara yang namanya biskal, dari acara tersebutlah akhirnya muncul istilah biskal itu.” Selain kata biskal, kata lain yang pernah digunakan adalah kata ‘palsu’ untuk mengatakan balle-balle atau berbohong. Sebagai pengguna bahasa gaul sekaligus penulis ia tetap mengingatkan bahwa ketika menulis dalam ragam ilmiah jangan sampai bahasa gaul memengaruhi tulisan yang ditujukan untuk kegiatan yang resmi atau ilmiah
Jika dilihat dari segi bahasa, bentuk-bentuk bahasa gaul yang hadir di kalangan remaja banyak menggunakan singkatan, seperti kata sans, pakbal, dan sokab. Penyingkatan kata-kata itu memang menjadi ciri tersendiri dari bahasa gaul. Hal ini dibenarkan oleh Ketua Prodi S3 Linguistik Unhas, Dr. Ikhwan M. Said, M.Hum., bahwa salah satu ciri dari penggunaan bahasa gaul adalah dengan memperpendek, mengurangi, atau menyingkat dari bentuk aslinya.
Kata sans, sokab, pakbal, ue, dan oaza/oaja merupakan beberapa contoh yang sering digunakan oleh remaja saat ini. Beberapa orang teman yang saya tanya tentang kata-kata di atas mengaku baru pertama mendengar dan tidak tahu artinya maka dari itu mari kita lihat arti dan proses terbentuknya kata-kata tersebut.
1.Sans
‘sanslah’, kata tersebut memiliki makna santailah. Digunakan untuk menyuruh orang yang sedang pusing atau berbicara dengan nada tinggi agar santai saja. Proses terbentuknya kata ini dengan dua cara, yaitu cara apokof atau proses penghilangan sebuah fonem atau lebih di akhir kata. Jadi, kata santai dihilangkan tiga fonem di belakang. Cara kedua dengan penambahan fonem di akhir. Kata san ditambah fonem s. Jadilah kata sans
2. Ue
“Malasnya mi ue”. Kata ue pada kalimat tersebut sebenarnya berasal dari kata gue yang sama maknanya dengan kata aku/saya. Proses terbentukya kata ue bisa kita lihat dengan cara aferesis, yaitu penghilangan sebuah fonem atau lebih pada awal kata. Kata Gue dihilangkan fonem g nya lalu jadilah ue.
3. Pakbal
“Pakbalnya ini e.” Pakbal sebenarnya adalah akronim dari pakaballisik yang dalam bahasa Makassar artinya bikin jengkel. Ketika mendengar kalimat di atas berarti lawan bicara sedang merasa jengkel atau kesal kepada kita. Proses terbentuknya adalah dengan mengambil suku kata pertama dan di tengah sehingga penggabungan suku kata tersebut membentuk kata pakbal
4. Sokab
“Sokabnyai ni e.” Kata sokab itu sebenarnya adalah akronim dari sok akrab. Proses terbentuknya kata ini juga memadukan suku kata pada kata pertama dengan gabungan huruf pada kata kedua. Akhirnya, terbentuklah kata sokab.
5. Oaza/oaja
Kata tersebut digunakan untuk menggantikan kata oh. Sebelumnya, remaja di Makassar pernah menggunakan opale untuk menggantikan kata oh. Namun, menurut Zaimah kata opale dianggap mengandung unsur lale atau mesum makanya diganti menjadi oaza/oaja. Proses terbentuknya kata ini terbilang unik karena melewati dua proses yaitu penghilangan fonem terlebih dahulu, yaitu fonem h. Setelah itu, barulah ditambahkan suku kata za atau ja. Akhirnya, terbentuklah kata oaza/oaja.
Seperti yang dikatakan oleh Anwar Jimpe Rahman bahwa penggunaan bahasa gaul tentunya boleh-boleh saja. Tidak ada larangan. Namun, tetap sebagai pengguna harus mampu menempatkan bahasa sesuai tempatnya. Dalam menulis ragam ilmiah tentunya tulisan tidak boleh terpengaruh oleh bahasa gaul, harus tetap berdasarkan bahasa Indonesia yang baku. Jadi, jika kita sebagai pengguna bahasa gaul, jangan sampai ada salah satu kata dalam bahasa gaul yang ikut di tulisan ilmiah, seperti skripsi. Kata ue jangan sampai ada ya di skripsimu, takutnya kamu tidak jadi wisuda dua bulan ke depan. *Eh
Referensi:
1. Isra, Harry M., dkk. 2016. Telinga Palsu. Makassar: Nala Cipta Litera
2.Munsyi, Alif Danya. 2003. 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia Adalah Asing. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
3. www. wikipedia.com. Diunduh tanggal 21 April 2017.
“Jangan Sampai Ada ‘Ue’ di Tulisan Ilmiahmu” dan 8 tulisan lainnya (Ujian Akhir Kelas Menulis Kepo) | Mujahid Zulfadli
[…] Jangan Sampai Ada Tulisan “ue” di Tulisan Ilmiahmu (Irmawati) Bagaimana Tunanetra Bisa Belajar (Herviana) Warung Mi Legendaris di Kota Makassar (Anna Asriani Mukhlis) Start-up Makassar: Peluang dan Tantangannya (Baizul Zaman) Katakan Tidak Bagi Mereka yang Memandang Kami Sebelah Mata (Helmiyaningsi H) Pura-Pura Bahagia Tak Perlu Banyak Energi (Andi Citra Pratiwi) Jangan Anggap Remeh Diskalkulia (Mujahid Zulfadli AR) Ardi dan Dunia Anak (Andi Rahmat Asgap) Ingin Jadi Penulis, Jadilah Pembaca (Hasymi Arif) […]