Sebenarnya saya ingin mengungkapkan secara langsung apa yang saya tulis ini kepada orang yang bersangkutan (sebut saja namanya Ibnu). Akan tetapi, apa daya saya tidak pernah bertemu dengan ketua angkatan saya ini. Ketika ke kampus pun, saya tidak pernah melihatnya. Padahal, dia belum sarjana. Seharusnya, saya akan dengan mudah menemukannya wara-wiri di kampus. Dia terlalu sibuk dengan kegiatan ekstrakampusnya (mungkin).

Apa yang ingin saya sampaikan ini sebenarnya adalah pengakuan rasa bersalah atas apa yang telah terjadi beberapa tahun lalu. Akan tetapi, saya baru mau mengakuinya sekarang setelah membaca sebuah postingan yang agak menyindir saya.

Ketua angkatan saya ini adalah seorang penulis. Ia menulis karya, baik fiksi maupun nonfiksi. Ia juga sudah pernah menerbitkan sebuah kumpulan puisi yang berjudul Solilokui. Saya sebagai teman tentunya mengapresiasi karya tersebut. Namun, bentuk apresiasi saya yang salah. Seharusnya saya membeli buku puisi tersebut, bukannya malah memintanya (dengan muka naïf). Tentu saja, dia memberikannya pada saya karena saya sebenarnya telah memegang buku tersebut, mustahil kalau saya melepaskannya kan?

Saya baru sadar bahwa meminta buku puisi tersebut adalah salah walaupun dia adalah teman saya. Alasannya adalah menulis itu bukan perkara yang mudah. Menulis butuh waktu, tenaga, pikiran, dan materi yang tidak sedikit. Dan saya mengapresiasi semua itu dengan meminta buku itu secara gratis. Sungguh jahat dan kejam apa yang saya lakukan. Saya juga sadar bahwa dalam proses penulisan buku tersebut, tak ada bantuan yang berarti atau mungkin tak membantunya sama sekali.

Untuk menebus rasa bersalah ini, saya akan menunggu karya Ibnu yang lain. Menunggu untuk membeli pastinya. Ketika saat itu tiba, saya akan berfoto dengan Ibnu sambil memegang bukunya tersebut. Semoga saja!