​Dua hari belakangan ini, berkunjung ke rumah tetangga adalah kebiasaan baru saya. Bukan tak ada alasan. Di kampung saya, khususnya tetangga-tetangga, sedang menggeliat semangat untuk membuat kerajinan tangan berupa bunga dari kantong plastik dan dari plastik jilid. Tidak ketinggalan ibu saya. Alhasil, sebagai satu-satunya anak perempuan, saya harus ikut membantu.

Hari pertama, kantong plastik dan kertas jilid yang telah dibeli oleh ibu dibawa ke rumah tetangga untuk dibuatkan bunga, tidak lupa gunting juga ikut dibawa. Saya pun harus ikut supaya saya bisa melihat proses pembuatannya. Jadi, nanti jika masih ingin membuat lagi tak perlu membawanya ke rumah tetangga, cukup dilakukan di rumah saja. Tak membutuhkan waktu terlalu lama kantong plastik dan kertas jilid telah berubah menjadi rangkaian bunga. Lebih cepat jika hanya sendiri yang mengerjakannya. Maklum saja, kami mengerjakannya bertujuh, lima orang dewasa dan dua anak-anak.

Hari itu ibu saya juga mendapat kiriman sayur berupa buncis dari saudaranya. Kebetulan bapak juga sedang ingin makan sayur buncis dicampur nangka maka ia pergi ke kebun untuk mencari nangka. Sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada tetangga-tetangga yang telah membantu membuatkan bunga, ibu saya memberikan buncis dan nangka tersebut untuk dimasak. Mereka pun girang tak terkira karena membayangkan betapa enaknya sayur yang akan mereka masak. Terbayang sajian sayur yang akan mereka nikmati nanti akhirnya berganti menu juga.

Besoknya di siang hari, Ibu saya bangun dari tidurnya karena mendengar suara gaduh yang bersumber di depan rumah. Ternyata beberapa orang terlihat berkumpul di salah satu rumah panggung, tentu bisa ditebak apa yang mereka lakukan, ya apalagi kalau bukan perihal bunga dari plastik tersebut. Di atas rumah panggung yang terletak pas di depan rumah, terlihat beberapa orang sedang menggunting plastik, yang lain merangkai plastik-plastik tersebut dan mengaitkannya ke sebuah kawat, terlihat sampah guntingan sisa plastik bertebaran di sekitar mereka. Saya pun tak ingin ketinggalan dan ikut bergabung. Saya merasa perlu bergabung karena di hari sebelumnya tetangga saya itu telah membantu, sekarang giliran sayalah yang membantunya.

Begitulah kami menjalani hidup bertetangga. Saling meringankan pekerjaan masing-masing dan saling berbagi makanan jika bahan makanannya memungkinkan untuk dibagi. Perihal hidup bertetangga, saya teringat akan sebuah drama korea yang berjudul Reply 1988. Di drama tersebut terlihat tetangga yang satu dengan tetangga yang lain saling memberi makanan yang diantarkan oleh anak-anak mereka.

Begitulah kami menjalani kehidupan bertetangga, saling meringankan beban satu sama lain. Yang lain akan membantu pekerjaan yang satu. Hal ini tidak hanya dilihat dari pekerjaan sederhana seperti ini. Akan tetapi, kita juga bisa dapati momen saling membantu pada acara pernikahan. Para tetangga akan datang ke rumah yang empunya acara membantu membuat makanan untuk menjamu tamu undangan yang akan datang. Saudara yang rumahnya jauh juga biasanya juga turut hadir di acara penting tersebut. Mereka datang tentu bukan dengan tangan kosong, biasanya mereka membawa beras, gula, terigu, atau barang-barang lain yang dibutuhkan yang empunya acara. Ini sebagai bentuk balas budi atau (mungkin) sebagai pengeksistensian diri. Dengan berkumpulnya tetangga yang satu dengan tetangga yang lain tentunya akan banyak cerita yang terjalin. Mulai dari cerita tentang anak perempuan mereka yang tak bisa masak padahal biasanya di rumah anaknyalah yang memasak, membandingkan acara pernikahan yang satu dengan yang lain, atau sibuk menyuruh orang yang duduk di sekelilingnya untuk makan. Dari obrolan-obrolan para tetangga tersebut maka terjalinlah keakraban.
#15harimenulis