Seharian saya merenung memikirkan siapa cinta pertama saya. Tidak ada seorang pun terpikir dalam kepala. Sampai sore hari saya masih berpikir dan bertanya pada diri sendiri, “Siapa ya cinta pertama saya?” Waktu berbuka pun tiba, satu nama untuk memenuhi tema menulis hari ini belum terpikir sama sekali. Buka puasa, salat magrib, dan makan malam sudah saya lakukan. “Ayomi pergi e,” sebuah suara mengajak saya untuk bergegas meninggalkan rumah. Muncullah ide untuk memenuhi tema menulis hari ini. “Ahhaaa, ini ada pale e sosok cinta pertamaku, kenapa nda terpikir dari tadi,” gumam saya dalam hati.
Saya pun menaikkan semua barang ke dalam mobil. Kami akan menempuh perjalanan ke Makassar. Dia menyetir dan saya duduk di sampingnya. Dalam mobil itu, penumpangnya hanya dua, saya dan dia. Untuk memecah keheningan dan menghilangkan kantuk, kami pun bercakap-cakap. Dia yang memulai obrolan. Sesekali saya bertanya tentang alasan di masjid sudah tidak ada yang membawa takjil lagi untuk berbuka puasa atau alasan di masjid dekat rumah tak ada yang mau salat sunah dua rakaat setelah isya. Dia lebih lama hidup di kampung tentu dia tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan saya. Maklum, sudah enam tahun saya tidak menetap di kampung karena menempuh pendidikan di kota daeng. Banyak sekali yang berubah dari masjid itu makanya saya menanyakannya.
Beberapa kali hening, tetapi beberapa kali juga kami bergantian bertanya. Kali ini giliran dia bertanya. “Gelar apa itu kalau S.Pt.?” Tanyanya setelah dia melihat spanduk yang terpasang di pagar warga ketika kami melintasi jalanan. “Sarjana Peternakan.” Jawab saya. “Kalau sarjana pertanian S.P. ji di’?. “Iye cocokmi.” Saya membenarkan perkataannya. Dia ingin tahu banyak tentang kehidupan yang saya jalani di kampus. Saya pun ingin banyak tahu tentang kampung kelahiran saya yang jarang saya temui itu. Dia juga sesekali memberitahukan kehidupan teman-teman saya yang ia temui.
Ketika mobil sudah ada di Jeneponto, ia tiba-tiba menawari saya untuk belajar mengemudi mobil. Belajar naik sepeda dan naik motor dia jugalah yang mengajari. Bahkan, tekadnya mengajari lebih kuat daripada tekad saya untuk belajar. Alhasil, saya sudah bisa mengendarai motor walaupun saya tidak yakin masih bisa naik sepeda sekarang.
Ingatan saya pun kembali ke Ramadan tahun lalu. Di tahun 2016, tepatnya bulan Ramadan, salah satu stasiun televisi swasta menyiarkan secara langsung pertandingan Piala Eropa. Saya pun menontonnya berdua dengannya. Kadang, dialah yang membangunkan saya untuk makan sahur sekaligus nonton pertandingan itu. Dia tak mau nonton sendiri, akhirnya saya pun menemaninya karena saya pun suka menonton pertandingan olahraga, termasuk bola. Mungkin karena dia jugalah saya suka menonton pertandingan bola karena dulu saya sering ikut duduk menonton siaran pertandingan bola . Dari dialah saya tahu arti istilah offside.
“Yang bagaimanakah itu offside?” Tanya saya waktu itu.
“Itu offside, waktu mengumpan bola ke temannya, ini yang dapat umpan bola lebih dekatki ke gawang daripada itu lawannya, atau ini yang terima umpan tinggal penjaga gawang yang dia hadapi.” Jawabnya menjelaskan. Kurang lebih seperti itulah penjelasannya tentang offside tersebut.
Tak hanya tentang bola, kami pun pernah mengobrolkan pertandingan bulu tangkis ketika itu sedang digelar Piala Sudirman di bulan Mei. Jadwal hari itu adalah pertandingan Indonesia melawan India.Waktu itu dia bertanya tentang siapa yang menang antara Indonesia dan India. Akan tetapi, saya juga tidak menontonnya sampai tuntas karena pertandingan itu sebanyak lima partai, ganda campuran, ganda putri, ganda putra, tunggal putra, dan tunggal putri. Tidak semua saya tonton. Saya pun menjawabnya dengan jawaan tidak tahu.
Obrolan-obrolan ringan itulah yang biasa saya lakukan dengan dia. Dia adalah bapak saya yang memiliki kesukaan yang sama, yaitu di bidang olahraga. Namun, hanya kesukaan sebagai menonton bukan bermain olahraga. Sayang, kami tidak bisa menonton bersama pertandingan Indonesia Open 2017. Saya di Makassar dan dia di Bantaeng. Semoga bisa menonton pertandingan olahraga bersama lagi ya pak, seperti waktu menonton Piala Eropa 2016.
#15harimenulis