Siapa yang tidak kenal dengan mi instan? Mi instan boleh dikatakan adalah salah satu jenis makanan sejuta umat. Mulai anak-anak sampai lansia bisa menikmatinya. Ia bisa diterima di semua kalangan. Mi instan sendiri diartikan sebagai mi dadak. Mi dadak adalah mi yang setelah dimasak sekejap sudah siap untuk dimakan. Dari pengertiannya, pantas saja mi tersebut digelari mi instan karena prosesnya yang dimasak tanpa memakan waktu terlalu lama.Dengan berbagai merek dan varian rasa kita dibebaskan untuk memilih sesuai isi kantong dan selera. Mulai dari merek S*kura, S*jati, Ind*mie, Mi g*las, dan masih banyak lagi. Varian rasa pun juga beraneka ragam, misalnya rasa soto, rasa ayam bawang, dan rasa-rasa yang lain.
Sebagai anak kos, tentunya saya tak pernah lepas dari mi instan. Rak bagian atas dari lemari tempat piring hampir tak pernah kosong oleh mi instan. Hal ini sebagai antisipasi jika lapar melanda dan saat itu sedang malas memasak atau apabila nanti terbangun di tengah malam karena kelaparan. Mi instan juga bisa dijadikan sebagai pelarian saat uang di dompet sedang tipis. Namun, di saat dompet sedang tebal, mi instan seolah terlupakan.
Untuk menikmati mi instan, tak perlu waktu khusus. Pagi, siang, sore, malam, tengah malam, atau subuh. Penyajiannya juga tidak membuat kepala pusing, tinggal lihat saran penyajian yang ada di bagian belakang kemasan. Kita juga bisa membuat mi instan sesuai dengan yang ada di iklan. Penyajian mi instan yang biasa saya lakukan adalah tentunya mi instan dimasak terlebih dahulu. Air rebusan pertamanya saya buang kemudian ditambah lagi dengan air yang baru. Tentunya saya juga menambahkan telur rebus ke dalamnya apabila saya makan mi instan rasa soto. Kalau saya makan mi instan dengan rasa mi goreng, telurnya telur mata sapi. Setelah mi dan telur tercampur tak lupa saya menambahkan sambal, kecap, dan cuka sesuai selera. Satu lagi bahan yang harus masuk dalam mi instan saya yaitu daun bawang. Setelah semua bahan sudah ada dalam sebuah mangkok barulah siap untuk dinikmati. Namun, jika lapar tengah malam melanda, saya tak sempat menyiapkan mi instan seperti yang saya sebutkan di atas.
Mi instan juga bisa dijadikan sebagai ajang berkreasi. Mi instan bisa dibuat menjadi martabak mi dengan dicampur terlebih dahulu dengan telur lalu digoreng. Mi instan juga bisa dibuat menjadi pizza mi dengan campuran sosis, paprika, jamur, keju, terigu, dan telur.
Mi instan adalah makanan ‘mulia’. Namun, ia tak luput dikambinghitamkan dalam beberapa hal. “Mentang-mentang sering makan mi instan jadinya semua yang kau lakukan juga maunya serba instan.” Kira-kira begitulah kalimat yang pernah saya dengar tentang mi instan. Perihal copy paste yang biasa terjadi di tugas perkuliahan. Padahal, bisa saja bukan kesalahan (sepenuhnya) ada pada mi instan. Malah, mi instanlah sang penyelamat, di kala lapar dan uang tinggal sedikit di dompet datanglah ide makan mi instan yang tak perlu banyak uang yang dikeluarkan untuk memakannya. Dia adalah penyelamat. Akan tetapi, sering dikambinghitamkan. Bersyukur karena mi instan tidak bisa berbicara. Bagaimana jika seandainya ia bisa berbicara? Apa yang akan ia katakana perihal pengambinghitamannya?
“Kalian ya tidak tau diri, sudah bagus saya masih ada di saat kalian sedang kere. Kalian harusnya berterima kasih. Ini kok jadi saya yang dipersalahkan? Kira-kira itulah dialog yang akan dikatakan oleh si mi instan jika saja ia dapat berbicara dan membela diri.