Kali ini adalah kali pertama saya bepergian di luar Sulawesi. Kalau mau dibilang jauh dari orang tua sih sebenarnya sudah biasanya, tetapi masih dalam provinsi yang sama. Yang membuat tidak biasa adalah saya bepergian sendiri dan di pulau Jawa. Keluarga sempat khawatir, tetapi namanya tekad sudah terlalu kuat jadilah saya berangkat sendiri dari Bandara Sultan Hasanuddin menuju Juanda. Durasi perjalanan ± 90 menit.
Saya berangkat tepat 7 November 2017, istirahat dua hari di Surabaya. Kemudian berselang dua hari berangkat ke Kampung Inggris, Pare, Kediri. Bikin apa sih di Pare? Ya apalagi kalau bukan nambah followers dan buat cari jodoh buat belajar bahasa Inggris. Maklumlah sekarang pekerjaan dan pendidikan sering mencantumkan persyaratan penguasaan bahasa Inggris sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi jika ingin bergabung di perusahaan atau institusi.
Kali pertama ke Kampung Inggris dengan menggunakan bus. Saya lupa nama busnya, intinya busnya tujuan ke Pare dan terakhir di Blitar kalau tidak salah. Di atas bus, banyak penjual mulai dari penjual tahu, penjual buah, dan masih banyak lagi. Orang-orang yang ada di atas bus menggunakan (mungkin) bahasa Jawa yang yang tidak saya pahami. Namanya kali pertama pasti bingung kalau kali kedua itu kan judul lagunya Raisa tujuannya sudah sampai atau belum, jangan-jangan tempat tujuannya sudah lewat, dan sejumlah pikiran-pikiran lain. Untunglah penumpang di sebelah tempat duduk saya menanyakan tujuan saya. Kabar baiknya ternyata tujuan kami sama. Inikah yang dinamakan jodoh? Penumpang itu adalah seorang lelaki yang sekira 50 tahun umurnya, memakai tas selempang yang muat beberapa pasang pakaian. Waktu berdampingan duduk, ia sempat memakan tahu, tahu Sumedang itulah namanya. Penumpang tersebut yang selanjutnya saya panggil ‘Pak’ bahkan mencarikan becak untuk saya tumpangi menuju tempat kursus tujuan. Akhirnya, saya sampai di tempat tujuan dengan selamat.
Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, itulah yang seharusnya saya lakukan di sini. Akan tetapi, ada yang beda dan belum bisa saya sesuaikan. Apa sih? Kebiasaan makan. Sebagai orang yang jarang menjadikan kerupuk sebagai teman makan, jika berada di Makassar, tentu saja cukup aneh bagi saya melihat kerupuk hampir selalu ada di warung dan di piring orang-orang. Lidah saya tak terbiasa dengan kerupuk. Di Makassar hampir tidak pernah saya makan kerupuk dengan nasi, kalau pun makan kerupuk setelah nasinya habis. Namun, bukan hanya saya yang merasakannya, salah seorang teman yang berasal dari daerah yang sama pun merasakannya.
No love before meeting, pepatah Inggris itulah yang diamini dan dipraktikkan di pertemuan pertama di The Eagle, tempat kursus saya. Dari pekenalan inilah saya tahu, teman-teman saya usianya lebih muda dari saya, baru lulus kuliah, baru lulus SMA, dan ada juga yang sudah kerja. Kami bersepuluh, empat orang perempuan dan enam orang laki-laki. Di antara bersepuluh itu, salah seorang di antaranya sudah berkeluarga dan berprofesi sebagai guru. Usianya sekira 40–50 tahun. Walaupun usianya lebih tua, semangat belajarnya tidak kalah dengan kami. Namanya Syamuddin, kami biasa memanggilnya Mr. Syam. Beliau berasal dari Kalimantan.
Bersepuluh orang dengan latar belakang yang berbeda satu sama lain menjadi sesuatu yang menarik. Mengapa? Karena saya bisa tahu makanan khas dari suatu daerah, kultur mereka seperti apa walaupun belum menginjakkan kaki di sana. Jadilah selama dua minggu itu bercakap untuk saling mengenal satu sama lain. Isinya apa? Tentang keluarga, cita-cita, bahkan sampai asmara. Intinya mereka menyenangkan karena tiada hari tanpa humor dan apa ya. Pokoknya menyenangkanlah. Menyenangkan kan itu kan kata sifat atau perasaan yang berasal dari hati. Namanya perasaan kan susah dijelaskan.
Dua minggu selanjutnya ada suasana baru. Seperti sebuah keharusan, ada pertemuan tentu saja ada perpisahan. Mr. Syam harus kembali ke kampung halamannya. Niken, salah satu dai sepuluh orang, pun harus meninggalkan kami. Namun, ada dua teman baru yang datang. Dua minggu tersebut, materi sudah naik level dong pastinya. Materi vocabulary-nya sudah lebih luas cakupan kata-katanya, pronunciation yang senam lidahnya lebih susah, grammar sudah belajar semua tenses dari yang sebelumnya hanya lima tenses. Speaking yang materinya sudah lebih luas, drama menggunakan bahasa Inggris, story telling, dan masih banyak lagi. Di dua minggu tersebut, hubungan pertemanan kami pun sudah lebih dekat. Kami sering makan malam bersama. Bahkan, liburan bersama di Pantai Ngliyep Malang.
Sebuah keharusan lagi untuk saya apalagi merasa nyaman di sebuah tempat maka saya harus meninggalkan tempat itu. Istilahnya keluar dari zona nyaman. Sedih tentunya meninggalkan mereka, tetapi hal itu harus. Akan tetapi, itu hanya berlaku untuk konteks yang seperti itu ya. Untuk konteks hati itu beda lagi. Kalau sudah nyaman ngapain nyari yang lain?
Dan bulan kedua saya di Pare dihabiskan dengan orang-orang baru lagi.