“Kak nyontekja tadi ini.”

“Buka  google ka tadi kak ka nda kutauki jawabannya.”

Itulah beberapa kalimat yang saya dengar dari anak sekolah yang sedang mengikuti Ujian Akhir Sekolah (UAS) yang lebih mengarah sebagai bentuk pengakuan. Mereka begitu bangga mengakui diri telah menyontek seolah telah memenangkan sebuah kompetisi tingkat nasional. Tidak ada yang salah dengan pengakuan itu, tetapi yang salah  adalah mereka tidak menampakkan rasa bersalah. Mereka dengan kepala tegak dan blak-blakan mengakui bahwa mereka telah menyontek.

Menyontek bisa kita analogikan dengan pengendara yang sedang melihat lampu merah. Namun, si pengendara tetap melaju tanpa menghiraukan lampu merah tersebut. Begitu pun dengan menyontek, siswa sudah tahu bahwa hal tersebut dilarang, tetapi tetap saja larangan tersebut diterobos. Padahal, esensinya sebuah ujian atau ulangan dilaksanakan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman terhadap materi yang telah diajarkan.

Tidak dapat dimungkiri, ujian atau ulangan memang menjadi momok menakutkan bagi siswa. Hal tersebut menentukan angka yang akan tertulis di rapor. Namun, bukan hanya sebatas nilai, melainkan juga ada proses yang tidak bisa kita abaikan dalam mencapai nilai tersebut.

Zaman sekarang, sebuah proses tidak lagi menjadi sesuatu yang penting bagi (sebagian) siswa, yang penting adalah hasil yang dicapai dalam ujian tersebut. Jadi, kerja keras, rasa percaya diri, mandiri, dan jujur yang merupakan bentuk perjuangan dalam mencapai nilai tersebut seolah tertutupi oleh keinginan membabi buta dalam mencapai nilai yang bagus. Keinginan yang membabi buta itu telah membuat mereka menghalalkan segala cara untuk meraih nilai yang diinginkan,termasuk menyontek.

Pengakuan menyontek di atas, perlu kita refleksi. Bukan langsung menghakimi siswa/anak bahwa tindakan mereka salah dan harus dihukum. Akan tetapi, lebih kepada mengembalikan persoalan ini kepada diri masing-masing. Sebagai pendidik, sudahkah kita mengajarkan materi dengan baik di kelas? Mengapa mereka bisa menyontek kalau semua soal yang diujikan, materinya sudah diajarkan. Sebagai orang tua,sudahkah kita memotivasi anak dalam belajar? Atau jangan-jangan kita hanya bisa menuntut tanpa tahu kemampuan anak seperti apa. Sebagai kerabat/keluarga, sudahkah kita membantu mereka jika ada kesulitan dalam belajar? Dan yang paling penting adalah sudahkah kita menanamkan karakter pekerja keras,percaya diri, mandiri, dan jujur dalam diri mereka? Mereka tidak hanya butuh didikte, tetapi mereka juga butuh contoh pengaplikasian karakter-karakter tersebut dari orang-orang terdekat sebagai anutan dalam menerapkannya.