Berdomisili di Makassar? Pasti pernah dengar kata To’do’puli kan? Mendengar kata tersebut, kita akan teringat sebuah jalan, ya Jl. Toddopuli yang berjumlah sampai sepuluh. To’do’puli bukan hanya nama sebuah jalan. Akan tetapi, kata To’do’puli adalah sebuah nilai/sikap yang dipegang teguh oleh para tokoh/pemimpin terdahulu.

To’do’puli atau bersatunya kata dengan perbuatan tidak hanya dikenal dalam masyarakat Makassar. Masyarakat Bugis juga sangat akrab dengan kata sifat yang satu ini,  mereka menyebutnya dengan sebutan getteng yang berarti teguh berpegang pada prinsip kebenaran). Selain berarti teguh, kata ini pun berarti tetap asas atau setia pada keyakinan, atau kuat dalam pendirian, erat memegang sesuatu. Tociung menyatakan bahwa ada empat perbuatan nilai keteguhan. (a) tak mengingkari janji, (b) tak mengkhianati kesepakatan, (c) tak membatalkan keputusan, tak mengubah kesepakatan, (d) jika berbicara dan berbuat, tak berhenti sebelum rampung.

Getteng ini merupakan salah satu pendidikan moral yang diajarkan La Mellong atau yang lebih dikenal dengan nama Kajaolaliddo kepada anak-anak raja dan bangsawan Bugis tepatnya di kerajaan Bone. Sifat Getteng ini dimaksudkan bahwa setiap orang tidak mudah tergeser dari prinsip kebenaran yang dianutnya. Sekalipun bumi pecah berantakan, langit runtuh tidak membuat kita dari keyakinan dan prinsip kebenaran.

To’do’puli/ Getteng tentunya bukan hanya sebagai teori, tetapi bentuk nyatanya dapat dilihat dari sebuah pengaplikasian (sebuah tindakan). Tokoh atau pemimpin yang mengaplikasikan sikap ini dapat kita lihat berikut ini.

  1. Datu Luwu

Nilai yang disebut getteng yang berarti ketegasan atau keteguhan berpegang         pada keyakinan yang benar dapat ditelaah dari sikap yang ditunjukkan Dewan Adat       Kerajaan Luwu dalam Pau-pau Rikadong Arung Masala Ulik-e. Dalam suatu dialog yang memberikan pilihan pada Datu Luwu “Mana yang Datu pilih, telur sebiji yang rusak ataukah telur yang banyak” yang bermakna pilihan, apakah Datu memilih mempertahankan kehadiran puteri tunggalnya yang berpenyakit kulit di dalam istana, ataukah memilih kepentingan, keselamatan, dan ketentraman rakyat. Bilamana Datu memilih puterinya, jelas Dewan Adat akan meninggalkan Datu atau   menurunkan Datu dari tahtanya. Dewan Adat melakukan hal itu sebagai pertanda ketegasan dan keteguhannya berpegang pada prinsip pengayoman kepada rakyat. Datu Luwu yang juga berpegang pada prinsip-prinsip adat kerajaan memahami bahwa dirinya pun harus menunjukkan sikap getteng, dengan melawan perasaan subjektifnya sebagai seorang ayah dengan memilih “telur yang banyak”. Hal itu berarti bahwa puteri raja harus disingkirkan dari kerajaan, harus ripali, diasingkan         dengan cara dinaikkan ke atas perahu kemudian dihanyutkan mengikuti aliran sungai (Ibrahim, 2003:165).

Datu Luwu yang saat itu harus memilih antara anaknya dan rakyat banyak.              Datu Luwu tentu saja mengalami dilema. Di satu sisi, tentunya ia tidak tega membuang anaknya yang memiliki penyakit kulit. Namun, di sisi lain, raja juga harus mempertimbangkan keselamatan rakyatnya. Akhirnya, raja dengan sikap teguh sebagai prinsip adat kerajaan, membuang anaknya demi rakyatnya. Ia pun mengesampingkan belas kasihnya sebagai orang tua. Keputusan tersebut tentunya tidak mudah untuk diambil oleh Datu Luwu. Walaupun membuang anaknya, itu semua demi kepentingan orang banyak. Mengesampingkan kepentingan             pribadi dan berpegang teguh terhadap adat tentulah sebuah tindakan yang           mencerminkan pemimpin teladan karena dapat menciptakan keamanan dan ketenangan bagi kerajaan dan orang-orang di dalamnya. Tindakan Datu Luwu ini dapat dikatakan mirip dengan tindakan Mangara yang tetap teguh tanpa terpengaruh oleh apapun demi melaksanakan sesuatu yang benar.

  1. Nene’ Mallomo

Nene’ Mallomo merupakan seorang cendekiawan yang berasal dari                   Sidenreng Rappang. Nene’ Mallomo merupakan tokoh cendekiawan Bugis yang cukup terkenal pada masa Addatuang Sidenreng dan Addatuang Rappang yang teguh melaksanakan apa yang dikatakannya ketika dipanggil oleh Raja untuk memutuskan hukuman kepada putera Nene’ Mallomo yang mencuri peralatan bajak tetangga sawahnya. Nene’ Mallomo pun berkata: Naiya Ade’e De’nakkeambo, de’to nakkeana (terjemahan : sesungguhnya adat itu tidak mengenal bapak dan tidak     mengenal anak).

Nene’ Mallomo memperlihatkan sikap teguh menjalankan tatanan hukum          yang berlaku pada saat itu. Semua yang bersalah harus dihukum, tidak terkecuali anak dari Nene’ Mallomo. Walaupun Nene’ Mallomo merupakan tokoh yang     disegani karena kecerdasannya, ia tidak menggunakan keistimewaannya tersebut untuk melanggar hukum yang berlaku di masyarakat. Nene’ Mallomo tetap             konsisten menjalankan apa yang seharusnya dilakukan kepada orang yang telah melanggar hukum, sekalipun itu adalah anak, saudara, maupun kerabat. Bagi Nene’ Mallomo, hukum tidak memandang siapa pun yang bersalah yang dihukum.

  1. Baso Pagilingi Abdul Hamid (Petta Ponggawae)

Amir dalam Jurnal Buletin Bosara (2001:70) menjelaskan bahwa Baso             Pagilingi merupakan seorang pejuang pada masa penjajahan Belanda yang berasal dari kerajaan Bone. Ketika Belanda menyerang pasukan Baso Pagilingi di pegunungan Awo dan Raja Bone meminta pertimbangan kepada putranya Baso Pagilingi, Baso Pagilingi menjawab sebagai berikut:

                   “Menurut pertimbangan dan pendapatku sebaiknyalah kita bertahan habis-habisan di sini menyelesaikan perang untuk menentukan siapa yang kalah. Sebab   walaupun kita menyingkir sampai ke ujung langit, tak hentinya kita diikuti                       pasukan Belanda… Biarkan mereka datang, saya akan menghadapi langsung                     untuk mempertahankan serta menjunjung tinggi kehormatan rakyat serta Raja               Bone, ataukah menumpahkan darah yang akan membasahi gunung Awo”.

Pada data kutipan di atas, terlihat jelas Baso Pagilingi akan melawan Belanda       sampai titik darah penghabisan bersama pasukannya. Ia sudah lelah menghindari pasukan Belanda yang mengejar mereka, maka ketika ditanya mengenai pendapat tentang penyerangan Belanda, ia dengan lantang mengatakan akan berjuang         habis-habisan melawan penjajah.

Pertempuran pun terjadi antara pasukan Belanda dan pasukan Baso Pagilingi.        Pasukan Belanda cukup besar jumlahnya di bawah pimpinan Mayor Infantri Van     Bonnekom dan dibantu oleh satu kompi pasukan khusus yang dipimpin Kapten     March Stipriaan Luiscius. Sementara itu, pasukan Baso Pagilingi bersama 25 orang pasukan. Dari pertempuran tersebut akhirnya pasukan Belandalah yang keluar sebagai pemenang.

Hal tersebut menunjukkan bahwa sikap Baso Pagilingi yang memiliki tekad             yang kuat untuk melawan Belanda, walaupun hanya memiliki pasukan berjumlah 25 orang dan akan melawan Belanda yang memiliki pasukan cukup banyak. Dengan keteguhan sikap yang dimiliki Baso Pagilingi, ia tetap melawan Belanda walaupun dengan pasukan yang sedikit tersebut. Nyawa pun rela dikorbankan dalam melawan Belanda demi membela tanah airnya. Sikap teguh pada pendirian terlihat jelas pada     Baso Pagilingi yang tidak gentar melawan Belanda walaupun dengan jumlah yang   sedikit, Baso tetap konsekuen terhadap apa yang dikatakan.

  1. Andi Mappanyuki

Andi Mappanyuki seorang keturunan Raja Gowa pada masa penjajahan                Belanda juga menunjukkan sikap teguh pada pendirian. Dalam Jurnal Buletin          Triwulan Bosara (2000:52) dijelaskan sikap Andi Mappanyukki menghadapi Belanda.      Pada tahun 1910 Belanda menawarkan kepada Andi Mappanyuki jabatan Regen untuk daerah Gowa Barat dengan gaji 400 gulden per bulan, padahal gaji seorang regen pada waktu itu , rata-rata 30 ̶ 50 gulden per bulan. Namun, tawaran itu ditolak oleh Andi Mappanyuki. Kemudian sejumlah tawaran kerja sama dengan Belanda         pun tetap ditolak, seperti: penolakan memimpin bekas kerajaan Gowa yang akan dibentuk menjadi Federasi Gowa. Meskipun yang ditawarkan kepada Andi   Mappanyukki, untuk memimpin suatu wilayah yang besar atau lebih luas dari yang pernah ditawarkan sebelumnya, tetapi ia tetap menolaknya. Andi Mappanyukki juga menolak kerja sama dengan NICA (Belanda) pada tanggal 27 Oktober 1945. Ia dengan tegas menyatakan bahwa: saya tidak mau bekerja sama dengan Belanda             karena saya sudah merdeka, lebih baik saya dibunuh daripada mau bekerja sama dengan Belanda. Demikian pula dengan pertemuannya dengan Dr. Hove nama       Letnan Gubernur Jenderal Van Mook di Hotel Empress. Pada pertemuan itu, Andi Mappanyukki kembali menolak dengan tegas bujukan dan rayuan dari Belanda, dengan pernyataan bahwa: Saya hanya sekali dilahirkan. Sekali saya menyatakan berdiri di belakang republik, saya akan tetap pada pendirian itu, sekalipun saya harus hancur lebur. Dengan keteguhannya itu mempertahankan prinsipnya, Andi         Mappanyukki dipecat atau dicopot dari kedudukannya, ia rela dicopot dari           jabatannya sebagai Raja Bone daripada ia harus menjadi pengkhianat.

  1. Prof. A. Amiruddin (Mantan Rektor Universitas Hasanuddin)

Sikap teguh juga dapat dilihat dalam diri seorang Alm. Prof. A. Amiruddin            (Mantan Rektor Universitas Hasanuddin) yang ketika menjabat rektor membangun perumahan dosen. Harahap dkk (1999:107) menyebutkan banyak yang meragukan rencana tersebut dapat berjalan baik. Bahkan ada yang mengatakan uang akan               hilang percuma seperti yang lalu-lalu. Memang pernah ada rencana serupa dan ternyata gagal setelah orang-orang menyetorkan uangnya. Namun, berkat sikap Amiruddin yang tak mau mundur dan terus mendesakkan kemauannya, rencana itu akhirnya disetujui dan dimulailah segala persiapan pembangunan tahap I di kampus Baraya. Dalam tiga bulan berdirilah selusin rumah yang langsung dapat dihuni. Sekalipun masih saja terdengar suara-suara sumbang di sana-sini,                     pembangunan terus dilakukan oleh “Yayasan Perumahan”. Ada yang bahkan menganggap Rektor Unhas menjual aset negara. Amiruddin tak acuh terhadap     suara-suara semacam itu.

To’do’puli atau getteng bukanlah sebuah sikap yang main-main. Kelima tokoh di atas, rela kehilangan anak, nyawa, jabatan, dan dituduh melakukan korupsi hanya untuk menegakkan sikap to’do’puli/ getteng. Mereka tetap teguh dengan apa yang mereka yakini benar tanpa merasa takut oleh apa pun dan siapa pun.

Sudahkah kita to’do’puli hari ini?